Umumnya jurnalis ini dituduh menyebar fitnah dan pencemaran nama baik, menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) menempatkan indeks kebebasan pers di Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara selama tiga tahun berturut-turut. Artinya, indeks kebebasan pers di Indonesia jalan di tempat.
"Peringkat tingkat kebebasan pers di tingkat internasional bisa menurun, dan bisa lebih buruk lagi," lanjut Sasmito.
Tanggapan Dewan Pers
Anggota Dewan Pers, Hendry Chairudin Bangun mengatakan lembaganya tidak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan.
Dewan Pers tetap akan mengacu pada Undang Undang Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik.
"Karena Dewan Pers itu dasar semua tindakannya itu Undang Undang Pers. Tidak mungkin pada Undang Undang lain," katanya kepada BBC Indonesia, Selasa (03/09).
Baca: ICJR dan YLBHI Nilai Alasan DPR Untuk Segera Sahkan RKUHP Tidak Masuk Akal
Dewan Pers, tambah Hendry, juga menunjukkan sikap yang sama dengan AJI dan LBH Pers: menolak sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers.
Pasal yang diprotes termasuk juga menyangkut kekerasan perempuan.
"DPR sudah ketinggalan zaman, kalau masih (melihat) kinerja atau pekerjaan jurnalistik itu mengancam. Jadi, kami tentu saja berharap itu tidak jadi (disahkan) dilakukan," kata Hendry sambil menambahkan dalam waktu dekat Dewan Pers akan menyampaikan kajian terkait pasal-pasal bermasalah ini ke DPR.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai RKUHP ini sebagai produk kebijakan 'tindak pidana pers'. Padahal, kata dia, jurnalis atau hal terkait aktivitas jurnalistik tak bisa langsung dipidana.
"Mestinya harus hati-hati merumuskan atau mengkriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal… Karena memberitakan sendiri, itu bagian dari unsur demokrasi," kata Fickar, Selasa (03/09).
Perlu pasal jembatan