TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mabes Polri mengungkap aktor intelektual kerusuhan di Papua dan Papua Barat tak hanya mengincar perhatian forum internasional semata.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan aktor intelektual tersebut sudah mendesain agar kerusuhan terjadi hingga 1 Desember mendatang.
"Kalau di dunia internasional dia mengambil setting Sidang Umum PBB. Kalau di dalam negeri, dia mengambil setting tetep mendesain kerusuhan ini sampai 1 Desember. Satu Desember kamu tahu kan, 1 Desember ada kegiatan apa?" ujar Dedi, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (6/9/2019).
Baca: Respons Anggota DPRD DKI Sikapi Pilihan Jakpro Soal Pemenang Tender Proyek Stadion BMW
Baca: Menkeu Sri Mulyani Berharap Masyarakat Mampu Ikut Urunan BPJS Kesehatan
Diketahui, 1 Desember merupakan hari yang diperingati sebagai hari kemerdekaan bagi Papua.
Hari kemerdekaan tersebut disepakati bertepatan dengan hari berdirinya Organisasi Papua Merdeka atau OPM.
Mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu menyebut hal ini harus betul-betul diantisipasi oleh aparat keamanan, pemerintah daerah, tokoh masyarakat, serta tokoh agama secara komprehensif.
"Kalau tidak itu settingannya itu akan digulirkan terus sama kelompok mereka," ucapnya.
Lebih lanjut, jenderal bintang satu itu menuturkan pihaknya akan mengusut kasus kerusuhan di Papua dan Papua Barat hingga tuntas.
Sehingga kejadian serupa tak akan terulang kembali.
"Pak Kapolri sudah menegaskan akan mengungkap secara tuntas kerusuhan Papua karena ini juga sebagai trigger. Kalau tidak diungkap secara tuntas, akan terulang kembali kejadian-kejadian seperti ini," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, Mabes Polri menduga aktor intelektual dibalik aksi kerusuhan di Papua dan Papua Barat mengincar perhatian dua agenda internasional.
Yakni sidang HAM di Jenewa, Swiss dan Sidang Umum PBB di New York.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan aktor intelektual berusaha agar kerusuhan di Bumi Cendrawasih mendapat perhatian tidak hanya dari dalam negeri, namun juga luar negeri.
"Yang mendesain ini tidak hanya di dalam negeri tapi luar negeri juga. Karena targetnya mereka tetap agenda internasional menjadi perhatian dari kelompok tersebut. Tanggal 9 September akan dilaksanakan sidang HAM di Jenewa. Kemudian tanggal 23-24 September ada Sidang Umum PBB di New York," ujar Dedi, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (6/9/2019).
Ia menjelaskan kerusuhan dan segala hal negatif yang terjadi di Papua akan diupayakan oleh aktor intelektual agar disoroti dan dibahas dalam sidang-sidang tersebut.
"Agenda setting itulah yang akan mereka desain memunculkan isu-isu Papua, isu tentang HAM, isu kerusuhan, isu rasisme. Itu diangkat kelompok tersebut meski dalam agenda tersebut nggak ada agenda tentang itu," ucapnya.
Lebih lanjut, mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu menuturkan pihaknya masih terus mendalami dan melakukan mapping terkait siapa aktor intelektual di Papua.
"Pemeriksaan terhadap beberapa tersangka yang sudah ditetapkan di Papua Barat maupun di Papua terus didalami. Dalam hal ini Polri masih melakukan mapping, pendalaman terhadap aktor intelektual di balik kerusuhan tersebut," tandasnya.
Dukungan Fadli Zon
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon setuju dengan kebijakan pemerintah untuk membatasi kehadiran warga negara asing (WNA) di Papua.
Menurutnya kebijakan itu wajar diberlakukan sebagai upaya pemulihan keamanan di Papua.
“Saya kira sementara ini kebijakan itu wajar diberlakukan sebagai upaya memastikan keamanan WNA tersebut sekaligus memulihkan keamanan dan ketertiban di sana,” ujar Fadli ditemui di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (6/9/2019).
Lebih lanjut Fadli meminta pemerintah mengambil tindakan tegas jika ditemukan bukti adanya keterlibatan pihak asing dalam terjadinya kerusuhan di Papua.
Baca: Fadli Zon Optimis Revisi UU Perkuat KPK
Baca: Kisah Hendropriono Tumpas Kelompok Klandestin, Kelompok Disebut Menhan di Balik Pemberontak Papua
Di samping itu ia menilai kebijakan bebas visa masuk ke Indonesia kepada sejumlah negara perlu dikaji ulang.
Menurutnya WNA yang bebas visa masuk ke Indonesia perlu dibatasi untuk keperluan tertentu seperti pariwisata.
“Sejak awal keputusan itu terburu-buru karena seharusnya ada kajian terlebih dahulu dan dibatasi untuk keperluan tertentu seperti pariwisata. Kita harus pertimbangkan ada pihak-pihak yang ingin masuk Papua dengan tujuan yang tidak kita inginkan seperti memberitakan yang tidak benar,” pungkasnya.