Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah disepakati menjadi usulan DPR, mendapat kritikan banyak pihak.
Salah satunya dari Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Belanda (PCINU-Belanda).
Mereka khawatir revisi undang-undang yang munculnya terkesan tiba-tiba tersebut akan membuat KPK mati suri.
"Mencermati isi dari usulan perubahan UU KPK, kami mengkhawatirkan rencana perubahan UU KPK akan membuat KPK mati suri dan tidak lagi memiliki taji dalam mengatasi tindak pidana korupsi di Indonesia yang masif," kata Ketua Umum PCNU Belanda, Muhammad Latif Fauzi, melalui siaran persnya, Minggu, (8/9/2019).
Revisi Undang-undang KPK tersebut muncul secara senyap.
Usulan revisi muncul dari Badan Legislasi yang kemudian disetujui dalam rapat Paripurna DPR RI pada Kamis lalu.
Revisi tersebut digenjot agar bisa rampung sebelum selesainya masa kerja anggota DPR Periode 2014-2019, akhir September ini.
Latif khawatir pembahasan revisi tersebut tidak matang karena dilakukan secara tergesa-gesa.
"Kami juga menilai bahwa rencana perubahan UU KPK yang tergesa-gesa tidak sejalan dengan prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan yang harus dilakukan dengan prinsip terbuka, partisipatif, dan kejelasan tujuan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," katanya.
Padahal menurutnya, selama ini KPK telah terbukti berkontribusi sangat positif dalam melakukan pencegahan dan penindakan kasus korupsi yang terjadi di berbagai sektor pemerintahan dan di berbagai daerah.
Baca: Diduga Bunuh Diri, Jenazah Brigpol Dewa Gede Alit Wirayuda Dikremasi Hari Ini
Sampai pertengahan tahun 2019, sebanyak 255 orang anggota DPR dan DPRD dijerat KPK karena melakukan korupsi, dan 130 kader para politikus yang menjadi Kepala Daerah juga ditangkap atau diproses karena terlibat korupsi.
"KPK telah berperan penting dalam upaya pencegahan dan penindakan kerusakan dan pencapaian kemaslahatan, yakni apa yang dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah' 'dar’ul mafasid wa jalbul mashalih," kata dia.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak menyetujui rencana revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kepala Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Tama Satya Langkun mengatakan masalah revisi ini dapat diselesaikan Presiden dengan cara tidak mengirimkan surat presiden (surpres).
"Tentu prosesnya belum selesai, masih berjalan. Artinya, masih ada satu ruang di mana Pak Presiden masih bisa berbuat banyak untuk bisa menarik persoalan ini," ujar Tama di Jakarta, Sabtu (7/9/2019).
Baca: Brigadir Dewa Gede Alit Diduga Bunuh Diri, Jenazahnya Dilepas Secara Militer Sebelum Dikremasi
"Artinya, sebetulnya Presiden bisa secara mudahnya tidak mengirimkan supres kepada DPR, yang artinya tidak menyetujui pembahasan ini," imbuh Tama.
Ia menyebut perubahan-perubahan pasal dalam UU KPK yang baru justru dapat melemahkan lembaga antirasuah tersebut, terutama dalam memberantas korupsi di Tanah Air.
Di sisi lain, Tama menilai tak ada yang perlu diperbaiki dari kinerja lembaga superbody tersebut. Apalagi, UU KPK yang saat ini dinilai masih efektif.