TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menilai Polisi tidak melakukan pelanggaran hukum atas penarikan Paspor, tersangka ujaran provokasi terkait isu Papua, Veronica Koman.
Hikmahanto meminta tidak dicampur-adukkan istilah penarikan dan pencabutan.
Dan yang dilakukan kepolisian adalah penarikan paspor, bukan pencabutan paspor.
"Istilah penarikan dan pencabutan tidak bisa disamakan," tegas Hikmahanto kepada Tribunnews.com, Rabu (11/9/2019).
Hal itu disampaikan Hikmahanto menanggapi Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, menilai rencana penarikan paspor untuk tersangka Veronica Koman adalah pelanggaran hukum jika belum ada keputusan pidana yang sudah inkrah.
Bila merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (PP 31/2013), istilah penarikan dan pencabutan paspor memiliki makna yang berbeda.
Penarikan paspor diatur dalam Pasal 63, sementara pencabutan paspor diatur dalam pasal 65.
Pasal 63 ayat (2) menyebutkan, "Penarikan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal: a) pemegangnya telah dinyatakan sebagai tersangka oleh instansi berwenang atas perbuatan pidana yang diancam hukuman paling singkat 5 (lima) tahun atau red notice yang telah berada di luar Wilayah Indonesia."
Dalam pasal tersebut jelas ditentukan bahwa pemegangnya telah dinyatakan sebagai tersangka, bukan sebagai terpidana.
Sementara dalam pencabutan paspor status orang yang paspornya dicabut berbeda dengan orang yang paspornya ditarik. Status orang yang dicabut paspornya adalah sebagai terpidana.
Hal ini ditentukan dalam Pasal 65 ayat (1) bahwa, "Pencabutan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dapat dilakukan dalam hal: a) pemegangnya dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun".
Baca: Senator Papua Minta Penyempurnaan Otsus untuk Kesejahteraan Masyarakat Papua
Perlu dipahami juga bahwa penarikan paspor tidak berakibat pada hilangnya kewarganegaraan Indonesia dari orang yang ditarik paspornya.
Lebih jauh ia menjelaskan, konsekuensi dari orang yang ditarik paspornya adalah ia tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah.
"Atas dasar ini aparat keimigrasian dimana orang tersebut bermukim dapat melakukan deportasi," jelasnya.
Menurut Pasal 63 ayat (3) PP 31/2013 dinyatakan bahwa, "Dalam hal penarikan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dilakukan pada saat pemegangnya berada di luar Wilayah Indonesia berupa Paspor, kepada yang bersangkutan diberikan Surat Perjalanan Laksana Paspor sebagai dokumen pengganti yang akan digunakan untuk proses pemulangan."
"Karena itu berdasarkan uraian itu, maka Kepolisian tidak melakukan pelanggaran hukum ketika meminta Direktorat Jenderal Keimigrasian untuk melakukan penarikan paspor Veronica Koman," tegasnya.
Komnas HAM: Pencabutan Paspor Veronica Koman Langgar Hukum
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai rencana penarikan paspor untuk tersangka Veronica Koman adalah pelanggaran hukum jika belum ada keputusan pidana yang sudah inkrah.
Veronica sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan menyebarkan konten berita bohong atau hoaks dan provokatif terkait kerusuhan Papua dan Papua Barat.
"Soal rencana pencabutan, itu pelanggaran hukum. Karena pencabutan hanya bisa dilakukan setelah ada putusan pidana yang sudah inkrah," ujar komisioner Komnas HAM Choirul Anam, saat audiensi dengan Solidaritas Pembela Aktivis HAM di Jakarta, Senin (9/9/2019).
Choirul menambahkan, dalam kasus ini, pihaknya memang perlu memberikan perlindungan terhadap Veronica sebagai pembela HAM.
Menurutnya, rencana penarikan paspor yang tak memiliki dasar hukum yang jelas terhadap Veronica merupakan bentuk ancaman kepada pembela HAM.
"Ketika pembela HAM terancam, tentu HAM makin sulit ditegakkan. Kami akan koordinasi dengan semua komisioner untuk melakukan langkah strategis untuk bisa melindungi Veronica," paparnya.
Sementara itu, salah satu anggota Solidaritas Pembela HAM Tigor Hutapea menilai, dalam kasus ini Veronica merupakan pembela HAM yang aktivitasnya dilindungi dalam Pasal 100, 101, 102, dan 103 UU RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ia menjelaskan, tindakan Vero yang memberikan informasi hingga menyampaikan pendapat terhadap kejadian di asrama Papua dilakukan dalam kapasitasnya sebagai advokat guna melindungi kliennya yang saat itu berada di asrama Papua.
Maka dari itu, tuturnya, berdasarkan UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat Pasal 16 menyebutkan "Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang persidangan."
"Rencana Polda Jawa Timur yang ingin menarik paspor Veronica adalah sebuah kekeliruan dan ancaman bagi aktivis pembela HAM," tegasnya.
Diketahui, Polda Jawa Timur berencana mengirim surat penarikan paspor untuk tersangka Veronica Koman kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM pada pekan ini.
"Belum, minggu inilah (suratnya dikirim). Itu sifatnya koordinasi saja," ucap Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung ketika dihubungi Kompas.com, Senin (9/9/2019).
Barung mengatakan, langkah itu dilakukan untuk menangkap Veronica Koman. Pengacara dan aktivis HAM itu diduga polisi berada di luar negeri.
Menurut Barung, dibutuhkan koordinasi dari berbagai institusi untuk melakukan langkah penegakan hukum, yaitu Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, dan Interpol yang bekerja sama dengan Mabes Polri.(*)