Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat menjalani uji kelayakan calon pimpinan KPK periode 2019-2023 di Komisi III DPR RI, Alexander Marwata mengungkapkan kesulitan melanjutkan status hukum RJ Lino dalam kasus dugaan korupsi pengadaan quay container crane (QCC).
RJ Lino yang merupakan mantan Direktur Utama PT Pelindo II diketahui menyandang status tersangka sejak 2015 hingga saat ini.
Alexander Marwata mengatakan kesulitan utama KPK untuk menelusuri kasus tersebut adalah lembaga antirasuah itu tak bisa menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut.
Baca: Kepanikan Orangtua Bisa Bikin Anak yang Demam Makin Parah
“Kami tak bisa menghitung alat yang dibeli pelabuhan dari luar negeri. Kesulitan kami karena terkait perusahaan yang menjual alat tersebut merupakan perusahaan dari luar negeri,” jelas Marwata.
Kasus RJ Lino ini kerap menjadi alasan beberapa pihak untuk mendukung adanya Revisi UU KPK yaitu pada poin pemberian kewenangan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh KPK.
Alexander Marwata sendiri mengajukan usulan agar Pasal 36 poin (a) UU KPK agar direvisi.
Poin tersebut berbunyi melarang pimpinan KPK mengadakan hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.
Baca: Masinton: Saya Akan Usulkan Kepada Teman-teman di Komisi III Untuk Tetap Memilih Firli Bahuri
Alexander Marwata memberi masukan agar pelanggaran yang masuk dalam kategori tersebut harus diberi kriteria telah terjadi kesepakatan terlebih dahulu.
“Ini sekalian saya beri masukan Revisi UU KPK terutama pada pasal 36 poin (a) tersebut. Kalau ketemunya tidak direncanakan bagaimana, harusnya bisa dikenakan pasal itu bila ada kesepakatan terlebih dahulu. Kalau ketentuannya seperti itu bisa-bisa lima pimpinan KPK kena semua,” ungkapnya.
Baca: BJ Habibie Tulis Pengalamannya 517 Hari Menjabat Presiden dalam Sebuah Buku
Marwata pun mengusulkan agar pada poin itu ditegaskan ketentuan tersebut berlaku bila pertemuan yang melibatkan pimpinan KPK dan tokoh yang pernah terkait kasus tindak pidana korupsi bisa berdampak pada terhambatnya proses penanganan perkara.
“Saya pernah diundang Pak Bambang Soesatyo, ke Semarang saya ketemu Pak Ganjar Pranowo, lalu diundang ke Istana ketemu Zumi Zola sebelum tersangka, perlu ditegaskan bahwa ketentuan itu berlaku jika pertemuan bisa menghambat proses penanganan perkara,” terangnya.
Tidak kompak
Calon petahana pimpinan KPK periode 2019-2023, Alexander Marwata mengaku tidak diberitahu perihal adanya konferensi pers yang dipimpin Saut Situmorang yang menerangkan bahwa mantan Deputi Penindakan KPK, Irjen Pol Firli Bahuri pernah melakukan tindakan yang diduga melanggar kode etik.
Oleh karena itu Marwata mengakui bahwa memang ada ketidakkompakan di antara pimpinan KPK saat ini.
Hal itu diungkapkan Marwata saat menjalani uji kelayakan sebagai calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (12/9/2019).
“Saya sendiri tidak tahu bahwa ada konferensi pers itu jika tak diberitahu Ibu Basaria Panjaitan, setelah acara itu saya tanya Febri Diansyah (juru bicara KPK) kenapa ada acara itu dan kenapa pimpinan lain tak diberitahu.”
“Kelemahan dan kesalahan pimpinan KPK sekarang adalah tidak kompak, itu jadi persoalan dalam sistem kolektif kolegial yang diterapkan di KPK,” ungkap Marwata.
Marwata mengakui isu seputar seleksi calon pimpinan KPK dan polemik mengenai rekam jejaknya semakin memperuncing ketidakkompakan antara pimpinan KPK.
“Saya katakan dalam tiga bulan terakhir ini kami harus bersatu lagi, segala putusan harus diputuskan berlima, tak bisa satu dua pimpinan selesaikan masalah KPK. Yang tidak mau silakan keluar, itu prinsip, tegasnya.
Baca: Presiden Pimpin Proses Pemakaman BJ Habibie
Marwata secara pribadi berpendapat bahwa konferensi pers yang disampaikan Wakil Ketua KPK lainnya yakni Saut Situmorang tersebut tidak sah.
Ia menjelaskan, saat menghadapi kasus itu, tiga dari lima pimpinan KPK berpendapat kasus Irjen Firli Bahuri ditutup karena yang bersangkutan diberhentikan secara hormat dari KPK karena dibutuhkan oleh institusi asalnya yakni Polri.
“Tiga pimpinan tegas menyatakan kasus Pak Firli ditutup, lalu satu lainnya memberi catatan untuk diperhatikan. Secara kolektif kolegial kalau tiga setuju ditutup keputusan yang diambil harusnya kasus itu ditutup. Kalau ada satu yang terus jalan menurut saya tidak sah, itu menurut pendapat saya,” jelas Marwata.
Menurutnya salah satu pimpinan yang setuju kasus Firli ditutup adalah Ketua KPK Agus Rahardjo.
Marwata menjelaskan bahwa pada saat itu pimpinan KPK hingga DPP (Dewan Pertimbangan Pegawai) menerima laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik berat yang dilakukan Irjen Firli Bahuri yang menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
Firli dituding melakukan pelanggaran kode etik berat dengan bertemu mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi yang pernah diperiksa sebagai saksi atas dugaan kasus suap perusahaan PT Newmont Nusa Tenggara.
Laporan itu menurut Marwata sudah sampai pada DPP KPK yang berwenang menjatuhkan putusan apakah yang dilakukan Firli melanggar kode etik atau tidak.
Marwata mengatakan mekanisme di DPP KPK memberi kesempatan kepada Firli untuk memberi keterangan berupa pengakuan atau memutuskan membela diri melalui pengadilan.
Akan tetapi mekanisme itu menurut Marwata belum dijalankan oleh DPP KPK karena yang bersangkutan kemudian ditarik oleh institusi asalnya yakni Polri.
“Karena belum sempat diperiksa maka pimpinan memberi catatan kepada Pak Firli diberhentikan secara terhormat dari KPK untuk kemudian dikembalikan ke Polri, tak ada catatan lain. Sehingga DPP KPK juga belum memutuskan apakah dugaan pelanggaran yang dilakukan Pak Firli termasuk ringan, sedang atau berat.”
Selain itu Marwata juga menjelaskan ada mekanisme lain yang dilakukan lima pimpinan KPK untuk menghadapi dugaan kasus pelanggaran kode etik oleh Firli Bahuri di samping mekanisme di DPP KPK.
“Kami berlima sepakat yang bersangkutan cukup diberi surat peringatan. Tapi karena sudah keburu ditarik surat peringatan itu belum disampaikan ke beliau. Dan tak ada catatan lain selain beliau diberhentikan secara terhormat dari KPK untuk dikembalikan ke Polri,” pungkas Marwata.
Dalam konferensi pers yang digelar di KPK RI kemarin Rabu (12/9/2019), Saut Situmorang menjelaskan hasil pemeriksaan DPP KPK menyatakan Firli Bahuri diduga melakukan pelanggaran kode etik berat.
Saut mengatakan pemeriksaan terhadap Firli dilakukan DPP KPK sejak 21 September 2018 dan sudah disampaikan ke pimpinan pada 23 Januari 2019.