News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Revisi UU KPK

Massa Kecam Oknum KPK yang Halangi Aksi Pencopotan Kain Hitam

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar aksi turun ke jalan pada Minggu (8/9/2019) pagi. Mereka menutup logo KPK dengan kain hitam.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelompok masyarakat Himpunan Aktivis Milenial (Ham) Indonesia yang menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Merah Putih KPK mengecam oknum lembaga antirasuah yang menghalangi pencopotan kain hitam yang menutupi logo KPK.

Ham Indonesia terlibat bentrok lantaran dihalangi petugas ketika hendak mencopot kain hitam yang menutupi logo KPK dan berusaha untuk menemui pimpinan KPK, Jumat (13/9/2019) sore tadi.

"Mendesak segera menurunkan kain hitam yang menutupi logo KPK sebagai simbol negara. Bila tuntutan tersebut tidak segera dipenuhi, HAM-I akan kembali melakukan aksi di depan Gedung KPK dengan jumlah massa lebih banyak," ucap orator Ham Indonesia di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019).

Baca: Berawal dari Niat Turunkan Berat Badan, Pelari Marathon Ini Sudah Keliling 70 Negara

Sang orator menjelaskan, massa awalnya meminta baik-baik agar mencopot kain hitam yang menutupi logo KPK.

Namun, permintaan itu tidak diindahkan wadah pegawai KPK dan aparat kepolisian.

Menyikapi hal tersebut pihaknya mengutus 10 perwakilan untuk mencopot kain hitam tersebut.

Sang orator membantah bila 10 orang tesebut sebagai penyusup.

Baca: Kembali Hadapi Kanker, Ria Irawan Merasa Mendingan Setelah Jalani Perawatan di RSCM

"Dalam poin tuntutan lain yang kemudian menjadi musabab aksi berjalan ricuh adalah meminta KPK mencopot kain hitam yang menutupi logo KPK. HAM-I meminta secara baik-baik kepada pihak KPK untuk menurunkan kain hitam yang menutupi logo KPK tersebut," jelas orator.

Masih menurut orator, dengan adanya aksi penutupan kain hitam pada logo KPK, wadah pegawai telah melakukan pelanggaran etik.

Mengingat, KPK adalah lembaga negara milik dari seluruh elemen masyarakat Indonesia.

Baca: Raih 85 Kursi DPR RI, Partai Golkar Beri Penghargaan Kepada Kader

"Pasalnya, dalam hemat kami, sebagai lembaga pemerintah yang dibiayai rakyat, Wadah Pegawai KPK tidak berhak mensabotase KPK dengan menutupi atribut lembaga rakyat tersebut," ujarnya

Dengan adanya kericuhan tersebut, Ham Indonesia mengutuk keras adanya aksi premanisme yang dilakukan oknum pegawai KPK.

Kemudian, mereka meminta agar KPK bertanggung jawab atas bentrokan yang terjadi.

"HAM-I akan menempuh jalur hukum dan meminta polisi menangkap aknum KPK yang merusuh, memprovokasi, melakukan aksi kekerasan. Meminta pihak kepolisian untuk menyita rekaman kamera CCTV di Gedung KPK sebagai unjuk bukti premanisme oknum KPK," katanya.

Minta kain hitam dicopot

Polisi minta agar kain hitam yang menutupi logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih KPK dicopot.

Permintaan bertujuan untuk menjaga agar aksi massa yang berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019) berjalan kondusif.

Sebelumnya, massa pendukung revisi UU KPK mencoba masuk ke gedung KPK untuk mencopot kain hitam tersebut.

Adapun logo KPK yang ditutupi kain hitam berada di sisi kiri gedung KPK berdekatan dengan ruang media.

Baca: Projo: Jokowi Serius dan Tegas Berantas Korupsi

"Yang jelas pokoknya tidak boleh kaya gini. Yang jelas kantor negara sebenarnya tidak boleh begini, ini kan milik negara," kata anggota kepolisian dari Polsek Metro Setiabudi bernama Bambang H.

Bambang sempat berargumen dengan dua pegawai KPK yang enggan mencopot kain hitam tersebut karena sudah seizin pimpinan KPK.

Kain hitam diketahui dipasang sejak Minggu (8/9/2019).

"Ini bukan perusahaan, ini untuk keamanan keseluruhan, ini instansi pemerintah bukan perusahaan. Kalau ini perusahaan, saya tidak masalah. Ini sudah salah kaprah. Milik negara kok seperti diboikot begini," ucap Bambang.

Baca: Politikus PKS Mardani Ali Sera Tolak Revisi UU KPK, Ini Alasannya

Namun, pegawai KPK mengatakan tidak ada pemboikotan.

"Tidak ada pemboikotan kok pak. Ini kan ditutup juga sama pimpinan Pak Saut (Wakil Ketua KPK Saut Situmorang)," kata seorang pegawai KPK.

Saat dikonfirmasi atas perintah siapa untuk mencopot kain hitam tersebut, Bambang mengatakan tidak ada yang memerintahkannya.

Baca: Risih, PERADI Putuskan Panggil Hotman Paris, Farhat Abbas dan Elza Syarief, Andar Situmorang?

"Tidak ada yang memerintah, ini keamanan saja. Ini institusi negara bukan perusahaan, kita tidak ada instruksi untuk menjaga kondusivitas saja," kata Bambang.

Namun, seorang massa aksi berhasil merangsek masuk dan mencopot kain hitam yang menutupi logo KPK tersebut.

Penjelasan lengkap Jokowi

Presiden Joko Widodo  akhirnya angkat bicara terkait RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belakangan banyak ditentang lembaga KPK termasuk koalisi masyarakat sipil antikorupsi.

Di Istana Negara, Jumat (13/9/2019), Presiden Jokowi akhirnya bersuara.

Jokowi didampingi Mensesneg Pratikno dan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldodo.

Jokowi menyatakan beberapa point ‎yang disetujui dan tidak disetujui.

"Saya ingin memberikan penjelasan mengenai RUU KPK. Supaya diketahui bahwa RUU KPK yang sedang dibahas di DPR ini adalah RUU usul inisiatif DPR," kata Jokowi mengawali keterangan persnya.

Baca: Saut Situmorang Mundur dari Pimpinan KPK

Baca: Profil 5 Pimpinan KPK Terpilih Periode 2019-2023, Irjen Firli Jadi Ketua KPK

Lebih lengkapnya berikut materi konferensi pers Presiden Joko Widodo terkait Revisi UU KPK :

Pagi hari ini saya ingin memberikan penjelasan mengenai RUU KPK supaya diketahui bahwa RUU KPK yang sudah dibahas di DPR ini adalah RUU usul inisiatif DPR.

Saya telah mempelajari dan saya mengikuti secara serius seluruh masukan-masukan yang diberikan dari masyarakat, dari para pegiat antikorupsi, para dosen, dan para mahasiswa, dan juga masukan dari para tokoh-tokoh bangsa yang menemui saya.

Karena itu ketika ada inisiatif DPR untuk mengajukan RUU KPK, maka tugas pemerintah adalah meresponsnya, menyiapkan DIM (Daftar Isian Masalah), dan menugaskan menteri untuk mewakili Presiden dalam pembahasan dengan DPR.

Kita tahu, Undang-Undang KPK telah berusia 17 tahun. Perlu adanya penyempurnaan secara terbatas sehingga pemberantasan korupsi bisa makin efektif.

Sekali lagi, kita jaga agar KPK tetap lebih kuat dibandingkan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi.

Saya telah memberikan arahan kepada Menteri Hukum dan HAM dan Menpan RB agar menyampaikan sikap dan pandangan pemerintah terkait substansi-substansi di revisi Undang-Undang KPK yang diinisiatifi oleh DPR.

Intinya, KPK harus tetap memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi.

SAVE KPK - Massa aksi dari BEM Fakultas Hukum dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Widyagama Malang memegang poster dalam aksi demontrasi menolak revisi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di depan Balai Kota Malang, Kamis (12/9/2019). Massa aksi menolak Revisi UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK yang telah disetujui DPR dan Presiden karena dinilai akan melemahkan KPK. (SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO) (SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO)

Karena itu KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai dan harus lebih kuat dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain dalam pemberantasan korupsi.

Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi RUU inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK.

Yang pertama, saya tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan.

Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan.

Yang kedua, saya juga tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja.

Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur ASN (Aparatur Sipil Negara) yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lainnya.

Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar.

Yang ketiga, saya juga tidak setuju bahwa KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan.

Karena sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik sehingga tidak perlu diubah lagi.

Yang keempat, saya juga tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK diberikan kepada kementerian atau lembaga lain.

Tidak, saya tidak setuju.

Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini.

Terhadap beberapa isu lain, saya juga memberikan catatan dan mempunyai pandangan yang berbeda dengan substansi yang diusulkan oleh DPR.

Perihal keberadaan Dewan Pengawas, ini memang perlu karena semua lembaga negara: Presiden, MA, DPR bekerja dalam prinsip checks and balances, saling mengawasi.

Petugas menuliskan perolehan masing-masing calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat pemilihan Capim KPK oleh Komisi III DPR melalui mekanisme voting di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (13/9/2019) dini hari. Melalui mekanisme voting dengan jumlah suara sah sejumlah 56 terpilih 5 capim KPK yaitu Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintauli Siregar. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Hal ini dibutuhkan untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan kewenangan. Jadi misalnya kayak Presiden, Presiden saja diawasi.

Diperiksa BPK dan juga diawasi oleh DPR. Jadi kalau ada Dewan Pengawas saya kira itu sesuatu yang juga wajar dalam proses tata kelola yang baik.

Oleh karena itu, di internal KPK juga perlu adanya Dewan Pengawas, Tapi, anggota Dewan Pengawas ini diambil dari tokoh masyarakat, dari akademisi, ataupun pegiat antikorupsi. Bukan dari politisi, bukan dari birokrat, maupun dari aparat penegak hukum aktif.

Kemudian, pengangkatan anggota Dewan Pengawas ini dilakukan oleh Presiden dan dijaring melalui panitia seleksi.

Saya ingin memastikan tersedia waktu transisi yang memadai untuk menjamin KPK tetap dapat menjalankan kewenangannya sebelum terbentuknya Dewan Pengawas.

Yang kedua, terhadap keberadaan SP3. Hal ini juga diperlukan sebab penegakan hukum juga harus tetap menjamin prinsip-prinsip perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia) dan juga untuk memberikan kepastian hukum.

Jika RUU inisiatif DPR memberikan batas waktu maksimal 1 tahun dalam pemberian SP3, kami meminta ditingkatkan menjadi 2 tahun supaya memberi waktu yang memadai bagi KPK.

Yang penting ada kewenangan KPK untuk memberikan SP3 yang bisa digunakan ataupun tidak digunakan.

Kemudian yang ketiga, terkait pegawai KPK. Pegawai KPK adalah aparatur sipil negara, yaitu PNS atau P3K.

Hal ini juga terjadi di lembaga-lembaga lainnya yang mandiri seperti MA, MK, dan juga lembaga-lembaga independen lainnya seperti KPU, Bawaslu.

Tapi saya menekankan agar implementasinya perlu masa transisi yang memadai dan dijalankan dengan penuh kehati-hatian. Penyelidik dan penyidik KPK yang ada saat ini masih tetap menjabat dan tentunya mengikuti proses transisi menjadi ASN.

Saya berharap semua pihak bisa membicarakan isu-isu ini dengan jernih, dengan objektif, tanpa prasangka-prasangka yang berlebihan.

Saya tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi karena korupsi memang musuh kita bersama.

Dan saya ingin KPK mempunyai peran sentral dalam pemberantasan korupsi di negara kita yang mempunyai kewenangan lebih kuat dibandingkan lembaga-lembaga lain dalam pemberantasan korupsi.

Istana Negara, 13 September 2019.

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini