TRIBUNNEWS.COM -- Langkah penarikan paspor Veronica Koman dinilai bakal menjadi preseden buruk bagi aktivitas para pegiat hak asasi manusia.
Beberapa kalangan mendesak Veronica Koman, yang antara lain dikenal sebagai pengacara mahasiswa Papua, diperlakukan secara manusiawi.
Paspornya sedang dalam proses ditarik setelah ia ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian menyusul unggahan di Twitter yang dianggap "berisi lontaran diskriminatif dan rasial".
Pemerintah mengatakan proses penarikan paspor Veronica Koman "sudah sesuai prosedur" berdasarkan Undang Undang Keimigrasian.
" Penarikan paspor dapat dilakukan kepada pemegangnya. Baik saat bersangkutan ada di dalam negeri mau pun luar negeri," kata Sam Fernando, juru bicara Ditjen Imigrasi, kepada Muhammad Irham yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Baca: Diajak Nyanyi Bareng Sheila On7 di Konser Harmonia: Classics Story, Sheila Genk Pun Digombali Duta
Baca: Dipastikan Batal ke Barcelona, Neymar Akhirnya Kembali ke Skuat PSG
Baca: Protes Eksekusi Lahan, Emak-emak di Tobas Nekat Telanjang Hadang Alat Berat yang Dikawal Aparat
Sam melanjutkan dengan penarikan paspor ini, tidak serta merta Veronica akan kehilangan status kewarganegaraannya (statelessness).
"Ketika paspornya ditarik tidak secara otomatis (status) warga negaranya hilang. Karena ada lagi dalam UU Kewarganegaraan, syarat-syarat yang diatur tentang kehilangan warga negara," jelasnya.
Pernyataan ini menepis spekulasi tentang pencabutan paspor Veronica yang berujung pada hilangnya status kewarganegaraan sebagai WNI.
Apa beda penarikan dan pencabutan paspor?
Penarikan dan pencabutan paspor diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 8/2012 tentang Paspor Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor.
Peraturan ini merupakan aturan turunan dari Undang Undang No. 6/2011 tentang Keimigrasian.
Dalam peraturan menteri ini, penarikan paspor bisa dilakukan di dalam dan luar negeri.
Syarat penarikan paspor antara lain pemegangnya telah dinyatakan sebagai tersangka oleh instansi berwenang atas perbuatan pidana yang diancam hukuman paling singkat lima tahun atau red notice yang telah berada di luar negeri.
Kedua, syarat penarikan paspor disebabkan pemegang paspor masuk dalam daftar pencegahan ke luar negeri (Pasal 25).
Sementara itu, pencabutan paspor biasa dapat dilakukan karena pemegangnya telah divonis pidana penjara paling singkat lima tahun penjara, kehilangan kewarganegaraan, berkewarganegaraan ganda yang telah memilih, masa berlaku habis, meninggal dunia, rusak parah, serta tidak menyerahkan paspor biasa dalam kasus penarikan (Pasal 35).
Veronica Koman ditetapkan sebagai tersangka atas sejumlah Undang Undang (UU).
Mulai dari UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), KUHP, UU Peraturan Hukum Pidana hingga UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Sangkaan ini berdasarkan sejumlah cuitannya terkait dengan peristiwa apa yang disebut "lontaran diskriminatif dan rasial" terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, pertengahan Agustus lalu.
Dari pasal-pasal yang disangkakan Veronica pun diancam hukuman mulai dari 1,5 hingga enam tahun penjara.
"Seperti di salah satu postingannya ada yang mengajak, memprovokasi, ada seruan mobilisasi aksi 'monyet' turun ke jalan di Jayapura. Ini postingan tanggal 18 Agustus 2019," kata Kapolda Jatim Luki Hermawan kepada media di Surabaya, Rabu (4/9/2019).
Bagaimana proses penarikan paspor?
Setelah penetapan tersangka, Kepolisian Jawa Timur mengirimkan surat ke Ditjen Imigrasi untuk menarik paspor Veronica Koman yang saat ini berada di luar negeri.
Juru bicara Ditjen Imigrasi, Sam Fernando, mengaku mendapat permintaan dari Polda Jawa Timur untuk mencabut paspor Veronica, hari Senin (9/9/2019).
Permintaan ini sedang diproses dengan menunjuk pejabat imigrasi sebagai perwakilan Indonesia.
"Kalau di dalam perwakilan Republik Indonesia belum ada pejabat imigrasi, ini penarikan paspor bisa dilakukan pejabat dinas luar negeri," katanya.
Setelah itu, pejabat yang ditunjuk akan memberikan surat pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang paspor.
Setelah itu, pemegang paspor memiliki waktu tiga hari untuk menyerahkan dokumen perjalanan antarnegara kepada pejabat yang ditunjuk.
"Jika pemegang paspor tidak menyerahkan dalam waktu yang sudah ditentukan, maka pejabat imigrasi yang ditunjuk harus menarik langsung paspor biasa dari pemegangnya," lanjut Sam.
Setelah itu, pejabat imigrasi ini akan memberikan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) sebagai gantinya.
"Surat perjalan laksana paspor itu digunakan untuk sekali perjalanan, untuk dia kembali ke Indonesia," tambah Sam.
Penarikan paspor pertama terhadap pegiat HAM?
Kasus penarikan paspor terhadap seorang tersangka bukan pertama kali terjadi.
Sebelumnya penarikan paspor yang disertai dengan red notice melibatkan interpol juga dilakukan pemerintah Indonesia dalam kasus korupsi.
Pada 2009, Kejaksaan Agung menarik paspor terpidana kasus pengalihan hak tagih piutang (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.
Saat itu, Djoko Tjandra diketahui terakhir berada di Papua Nugini, meski disebut juga tinggal di Singapura.
Lalu, penarikan paspor juga dilakukan kepada Nunun Nurbaeti, tersangka kasus suap Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (2013) dan M. Nazaruddin, tersangka suap proyek Wisma Atlet SEA Games (2011).
Keduanya sempat kabur ke luar negeri saat hendak ditahan KPK. Sementara itu, berdasarkan website International Criminal Police Organization (Interpol) saat ini terdapat empat WNI yang mendapat red notice atau masuk daftar pencarian orang di tingkat internasional.
Kasus mereka terkait dengan pedofilia, pencurian dan pembunuhan.
Namun kasus penarikan paspor terhadap advokat sekaligus pegiat HAM diyakini baru pertama kali terjadi di era reformasi, kata anggota Solidaritas Pembela HAM, Tigor Hutapea.
"Selama berkecimpung sebagai pengacara publik, ini baru pertama kali, yang saya ketahui," kata Tigor.
Ia menambahkan peristiwa ini akan menjadi preseden buruk bagi kalangan aktivis pembela HAM.
"Itu ancaman bagi kami yang juga berkecimpung dalam pembela HAM," tambahnya.
Apakah berlebihan?
Kelompok Solidaritas Pembela HAM ini terdiri dari LBH Pers, LBH Jakarta, KontraS Surabaya dan LSM lainnya, memprotes penetapan Veronica Koman sebagai tersangka.
Anggotanya, Tigor Hutapea menuding kepolisian "berlebihan dalam menetapkan tersangka terhadap Veronica Koman".
Padahal, kata dia, saat mengunggah informasi di Twitter, Veronica dalam posisinya sebagai kuasa hukum mahasiswa Papua di Surabaya.
Berdasarkan UU Advokat, Veronica Koman tak dapat dituntut baik perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas.
"Apa yang disampaikan Veronica melalui twitternya itu benar… Mereka (mahasiswa Papua) menyampaikan (informasi) ke Veronica, karena Veronica ini salah satu kuasa hukum mereka sejak 2010," katanya.
Kata Tigor, sangkaan kepolisian terhadap Veronica sebagai penyebar berita bohong yang mengakibatkan kerusuhan tidak mendasar.
Tigor mengklaim telah bertemu dan mengkonfirmasi hal ini kepada mahasiswa Papua di Surabaya atas insiden rasial yang dilatarbelakangi pengrusakan bendera Merah Putih—sampai saat ini belum diketahui pelakunya.
"Karena kami menilai penetapan tersangkanya itu bermasalah, sehingga penarikan paspor menurut kami itu merupakan pelanggaran terhadap hak warga negara," kata pengacara publik ini.
Solidaritas Pembela HAM juga meminta Komnas HAM mengevaluasi Poltabes Surabaya dan Polda Jawa Timur dalam penanganan kasus Veronica Koman.
"Dievaluasi dulu dalam proses penetapan (tersangkanya), karena kami melihat ada masalah," tambah Tigor.
Sementara itu, pakar hubungan internasional, Dinna Wisnu, menilai pendekatan secara kultural lebih baik dibandingkan menggunakan upaya hukum dalam kasus Veronica Koman.
"Ketika kita memperlakukan Veronica dengan tepat, ini bisa menunjukkan pada dunia luar kita punya nilai yang sangat tinggi, dan itu dipraktikkan betul ketika kita bersentuhan dengan isu HAM macam Papua," kata Dinna.
Dinna melanjutkan, jika pemerintah atau penegak hukum memperlakukannya secara keras, "Kenyataannya bukan membuat mereka semakin ingin atau semakin redam, ingin bergabung dengan Indonesia. Tapi justru sebaliknya."
"Dan kita sudah lihat dari kasus Timor Leste, misalnya kalau orang-orang seperti itu kita tangani dengan keras, itu jejaknya sangat miris akhirnya, terlalu banyak korban jatuh, padahal sebenarnya mereka dalam praktik kenyataannya masih sangat membutuhkan Indonesia," kata Dinna.
Rekam Jejak Veronica Koman
Pada 2015, Veronica Koman menjadi pengacara publik di LBH Jakarta.
Di tahun ini ia pernah mendampingi dua mahasiswa Papua yang menjadi tersangka dalam demonstrasi di Jakarta.
Dari informasi yang dihimpun BBC News Indonesia, Veronica juga menjadi bagian dari tim kuasa hukum yang meminta pemerintah membuka dokumen laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir pada 2016 -2017.
Pada saat ramai Pilkada Jakarta, Veronica ikut menolak pemidanaan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang divonis dua tahun penjara dalam perkara penistaan agama dengan vonis dua tahun penjara.
Tahun lalu, ia masuk dalam tim kuasa hukum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), kelompok yang saat ini dianggap biang rusuh di Papua oleh pemerintah.
Ia juga pernah berbicara soal Papua di Sidang Dewan HAM PBB ke-40.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Paspor Veronica Koman Ditahan, Kasus Penarikan Paspor Pertama Pegiat HAM di Era Reformasi"