TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) pada Jumat (13/9/2019) malam.
Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan rapat ditunda pada Senin pekan depan, karena ada sejumlah daftar inventaris masalah (DIM) yang belum selesai pembahasannya.
"Ada beberapa substansi yang merupakan substansi usulan pemerintah yang harus kita sesuaikan dengan pendapat fraksi fraksi," kata Supratman.
Baca: Warga Kota Depok Mengunggulkan Iwan Fals Jadi Wali Kota Depok, Kalahkan Idris Abdul Samad
Supratman enggan membeberkan poin apa saja yang belum mencapai kesepakatan antarpemerintah dan DPR. Begitu juga dengan poin apa saja yang sudah disepakati.
"Kalau saya menjelaskan hasil di tingkat panja itu kan berisiko pada saya, oleh karena itu tolong sabar, dalam waktu yang tidak lama maka pembahasan di tingkat Panja akan selesai," katanya.
Yang pasti menurut Supratman, dalam membahas revisi UU KPK, Baleg akan mempertimbangkan berbagai masukan dari masyarakat, selain tentunya, sejumlah poin revisi yang ditolak pemerintah.
"Nanti akan disampaikan bahwa ada beberapa poin yang substantif sekali yang merupakan usulan pemerintah yang masih memerlukan pembahasan lebih dalam, tapi intinya sekali lagi dalam kerangka pembahasan ini kita mendengarkan semua aspirasi dari kelompok masyarakat, akan kita pertimbangkan semua," tuturnya.
Sementara itu Wakil ketua Baleg, Totok Daryanto menyampaikan bahwa revisi undang-undang KPK digelar tertutup sesuai dengan Tata tertib. Hanya rapat kerja yang boleh digelar secara tertutup.
"Tertutup, kalau rapat kerja terbuka, Senin insya Allah," katanya.
Totok enggan membeberkan ada tidaknya perdebatan dalam pembahasan revisi undang-undang KPK antara pemerintah dengan DPR.
Yang pasti menurutnya, lobi-lobi masih dilakukan antara DPR dan pemerintah terhadap sejumlah poin revisi UU KPK.
"Masih ada dengan pemerintah, lobi-lobi," katanya.
Sebelumnya DPR menyetujui revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR, pada kamis,(5/9/2019).
Pemerintah kemudian menyetujui revisi tersebut.
Presiden telah mengirimkan Surpres (surat presiden) berisikan daftar inventaris masalah ( DIM) dan penunjukkan perwakilan pemerintah dalam membahas RUU KPK.
Dalam draf revisi UU KPK yang cenderung senyap dan tiba-tiba ini, terdapat enam poin revisi.
Pertama terkait kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat independen.
Pegawai KPK nantinya akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN.
Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas.
Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.
Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.
Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3.
Sementara itu Presiden menolak empat poin revisi yang diusulkan DPR.
Empat poin tersebut yakni:
Pertama, Jokowi menyatakan tak setuju jika KPK harus mendapatkan izin pihak luar saat ingin melakukan penyadapan. Menurutnya, KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan.
Kedua Jokowi tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Ia menyatakan penyelidik dan penyidik KPK bisa berasal dari unsur aparatur sipil negara (ASN)
"Yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lainnya. Tentu saja harus melalui prosedur rekurtmen yang benar," imbuhnya.
Ketiga, Jokowi mengatakan tidak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan. Menurut dia, sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik sehingga tidak perlu diubah lagi.
Keempat, Jokowi menyatakan tidak setuju apabila pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dikeluarkan dari lembaga antirasuah dan diberikan kepada kementerian atau lembaga lainnya.
"Saya tidak setuju. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini," tegasnya.