TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - MAYOR Jenderal (Mayjen) Purnawirawan Tubagus Hasanuddin, ajudan Presdien BJ Habibie selama 1,5 tahun (1998-1999), ternyata punya banyak kisah yang belum diceritakan kepada publik.
Kisah itu di antaranya ia nekat menawarkan diri menjadi 'utusan' Habibie untuk melobi mantan Presiden Soeharto.
Misi itu bertujuan agar Soeharto bersedia menemui Habibie.
Sejak menyerahkan kekuasaan kepada Habibie di Istana Negara, Jakarta, 21 Mei 1998, Soeharto tidak mau menerima anak emasnya itu.
Dalam buku berjudul Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, terbitan THC Mandiri, September 2006, Habibie mengungkapkan kegalauan hatinya dan merasa dilecehkan karena Sejak 21 Mei 1998 Soeharto tak lagi mau menemuinya.
Sampai keduanya meninggal, Habibie dan Soeharto tidak pernah bertemu.
Berikut petikan wawancara eksklusif Tribun Network dengan Tubagus (TB) Hasanuddin, di Jakarta, Sabtu (13/9/2019).
Ketika Anda menjadi ajudan, apakah Habibie pernah curhat karena dicuekin oleh Soeharto setelah terjadi peralihan kekuasaan?
Terkait hal itu saya pernah minta bantuan kepada pejabat untuk membantu menghubungan Pak Habibie kepada Pak Harto, tapi tidak bisa tembus. Kemudian saya bilang kepada Pak Habibie, kalau diizinkan saya yang akan menemui Pak Harto.
Saya mengenal baik para pengawal Pak Harto karena saya sebelumnya pernah menjadi ajudan Wakil Presiden Try Soetrisno. Ternyata kemudian saya dapat bertemu dengan Pak Harto di sebuah vila di kawasan Puncak, Bogor, sekira bulan Juli 1998.
Saya bilang kepada Pak Harto, saya diutus Pak Habibie. Pak Harto bilang, oh kamu ini ajudan Habibie ya. Kami bicara satu jam, lebih banyak ngobrol soal cerita masa lalu, di antaranya peristiwa perebutan Yogya yang terkenal sebagai peristiwa serangan umum 1 Maret 1949.
Bagaimana mulai bicara soal pesan Habibie?
Saya bilang, Pak, mohon izin menyampaikan keinginan Pak Habibie untuk bertemu Bapak (Soeharto). Beliau menjawab dalam bahasa Jawa, kira-kira artinya Pak Habibie itu sekarang orang sibuk, jadi lebih baik konsentrasi saja pada pekerjaannya.
Kapan-kapan saja kalau situasi sudah reda. Karena sudah diberi tanda untuk mengakhiri obrolan oleh para pengawal, saya pamit undur diri. Kemudian saya melaporkan pertemuan itu kepada Pak Habibie.
Setelah menerima laporan saya, Pak Habibie bilang, "Ya sudah, yang penting kita sudah beritikad baik."
Setelah menjadi presiden, Habibie mengalami masa menegangkan yaitu ketika pada 22 Mei mendapat laporan adanya pergerakan pasukan liar di sekitar rumah pribadinya, kawasan Patra Kuningan, Jakarta.
Bagaimana kondisinya saat itu?
Jadi begini, saya memang nguping soal adanya pergerakan pasukan liar di sekitar rumah Pak Habibie. Pada sore menjelang malam, saya mendapat telepon dari Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Mayjen ZA Maulani.
Beliau bilang, "Din, hati-hati ini banyak pasukan liar." Pangkat saya waktu itu kolonel, sedangkan Pak ZA Maulani jenderal bintang dua. Saya pikir intergitas beliau tidak diragukan.
Saya minta kepada paspamres (pasukan pengamanan presiden) memperkuat penjagaan.
Apakah Anda melaporkan informasi itu kepada Presiden Habibie?
Tidak. Karena saya dengar laporan serupa telah disampaikan Jenderal TNI Wiranto sebagai Panglima ABRI kepada Pak Habibie. Saya nggak perlu lapor lagi.
Langkah berikutnya, saya menggelar tikar dan tidur di depan pintu kamar Pak Habibie (bukan tidur di bawah ranjang Habibie seperti banyak diberitakan sebelumnya).
Saya bawa senjata laras panjang untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa terhadap Pak Habibie.
Pada saat subuh Pak Habibie sempat melangkahi tubuh saya. Beliau tanya, "Siapa ini?" Saya jawab, "Hasanuddin, Pak." Pak Habibie tanya lagi, "Kamu ngapain tidur di sini?" Saya jawab lagi," Saya jaga Bapak."
Saya tidak melihat kekhawatiran atau ketakutan di wajah beliau. Biasa saja.
Anda saat itu bawa senjata laras panjang jenis/merek apa?
Pokoknya senapan lah, saya nggak mau nyebutin namanya, nggak enak saya.
Apa ada lagi informasi lanjutan yang disampaikan Kepala Bakin kepada Anda?
Beberapa hari kemudian Kepala Bakin menelepon lagi malam-malam. Beliau bilang, "Hasanuddin ini ada rencana untuk meracuni Patra Kuningan (kediaman BJ Habibie). Kamu harus mengambil tindakan."
Pada subuh hari saya kumpulkan semua orang di bagian dapur. Semua orang yang belanja harus mendapat pengawalan ketat. Saya juga minta belanja di tempat lain, bukan ke tempat hari sebelumnya.
Saya tidak melaporkan hal itu kepada Pak Habibie.
Namun dalam sebuah makan siang beliau tanya, "Makanan ini nggak beracun kan Din?" Saya bilang,"Siap, tidak Pak." Rupanya ada yang cerita soal informasi meracun makanan itu kepada Pak Habibie. (danang/chaerul umam)