Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta agar DPR RI menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Komnas HAM menilai RKUHP saat ini masih ada pasal-pasal bermasalah.
Satu di antaranya terkait tindak pidana pelanggaran HAM berat.
Dalam aspek pemidanaan terdapat frasa yang menimbulkan ketidakpastian hukum seperti tertuang dalam draf RKUHP pada 15 September 2019.
Selain itu, Komnas HAM juga menilai penerapan fungsi hukum pidana “ultimum remidium” atau sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas dalam penegakan hukum kurang tepat.
Baca: Sebentar Lagi Honda Zoomer Dirilis di Indonesia, Banderolnya di Bawah PCX?
Komisioner Komnas HAM RI Choirul Anam menilai Buku Kesatu RKUHP juga banyak menafikan prinsip-prinsip HAM.
Ia menilai, Pasal 187 RKUHP tidak boleh ditafsirkan lain kecuali yang tertulis dalam pasal tersebut.
Menurutnya, Pasal 187 RKUHP menyatakan bahwa ketentuan dalam Bab I sampai Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang.
Menurutnya, konsekuensi dari pasal terebut berkaitan dengan Bab Tindak Pidana Khusus bahwa RKUHP tidak mengurangi adanya kewenangan lembaga-lembaga pendukung penegakan hukum yang sudah ditentukan dalam undang-undangnya.
Baca: Kondisi Kesehatan Ivan Gunawan Drop, Kini Dirawat di Rumah Sakit
Sehingga, menurutnya aturan yang ada di RKUHP tidak berlaku sepanjang sudah diatur dalam undang-undang tersendiri.
Anam menilai setidaknya terdapat tiga persolan dalam draft RKUHP versi 15 September 2019.
Pertama, Paradigma RKUHP berbeda dengan prinsip HAM menurut hukum internasional.
Menurutnya, dalam konteks pelanggaran HAM berat, kejahatan diproduksi oleh kekuasaan atau kebijakan yang korbannya adalah masyarakat sipil.
Kejahatan tersebut menurutnya, disebut sebagai kejahatan paling serius di mana yang diatur dalam RKUHP adalah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sehingga menurutnya, element of crime dari pelanggaran HAM berat tersebut tidak bisa disamakan dengan kejahatan biasa karena harus ada pertanggungjawaban dari pembuat kebijakan.
"Pemidanaan pelanggaran HAM berat tidak bisa disamakan dengan pemidanaan pada tindak pidana biasa," kata Anam ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (19/9/2019).
Kedua, dalam beberapa konteks, RKUHP belum bisa memberikan kepastian hukum karena adanya frasa-frasa yang menimbulkan multitafsir atau masih adanya ruang yang tidak memungkinkan diberikanya kepastian hukum.
Baca: Jokowi Disarankan Tunjuk Menpora Baru Gantikan Imam Nahrawi
"Misal frasa-frasa dalam delik-delik keagamaan yakni terkait 'perasaan' dan 'menimbulkan kegaduhan' dan frasa dalam living law," kata Anam.
Terakhir, penerapan fungsi hukum pidana “ultimum remidium” dalam RKUHP masih kurang tepat dalam beberapa pasal.
Menurutnya, banyak persoalan sosial yang seharusnya dapat menggunakan hukuman lain yang mampu menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat tanpa harus dikenakan sanksi pidana.
Sehingga Anam menilai, hal tersebut seolah bertolak belakang terhadap beberapa jenis tindak pidana terkait Pelanggaran HAM Berat, Korupsi, Narkotika, Terorisme, dan Pencucian Uang yang justru mengalami pengurangan pemidanaan.
"Komnas HAM meminta agar pengesahan RKUHP ditunda dan dilakukan perbaikan terhadap pasal-pasal yang masih bermasalah sehingga penegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat mampu mencegah meningkatnya angka pelanggaran," kata Anam.
Akan dibawa ke paripurna
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan bahwa Revisi Undang-undang KUHP akan dibawa ke dalam rapat Paripurna pada 24 September mendatang. Pernyataan Yasonna tersebut disampaikan setelah pemerintah dan DPR bersepakat revisi dibawa ke dalam rapat paripurna.
"Sudah diselesaikan dalam pembicaraan tingkat 1. Mudah-mudahan rencananya mau dibawa ke paripurna tanggal 24 September," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (18/9/2019).
Yasonna mengaku lega pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP) akhirnya rampung dan tinggal menunggu persetujuan anggota DPR dalam sidang paripurna. Karena pembahasan revisi KUHP dilakukan dalam waktu yang cukup lama.
"Sudah lega, sangat-sangat lega, karena rencana RKUHP bisa diselesaikan yang selama hampir 4 tahun bergumul," katanya.
Politikus PDIP itu tidak menampik bahwa dalam pembahasan RKUHP terjadi banyak perdebatan. Ia juga sadar bahwa revisi KUHP masih mendapatkan pertentangan sejumlah pihak.
Baca: Imam Nahrawi Tersangka, Bagaimana Nasib Bonus Atlet Bulutangkis yang Jadi Juara Dunia?
Pertentangan yang terjadi menurutnya karena masyarakat Indonesia yang heterogen.
"Banyak kontroversi, banyak perdebatan, tapi tentu tidak semua bisa dibuat sempurna. Karena kita masyarakat heterogen, berbhineka dengan segala kompleksitas dan pandangan, tapi ini lah yang terbaik buat kita," pungkasnya.