TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Arie Rompas mengatakan Presiden Joko Widodo perlu membentuk tim gabungan untuk menegaskan penegakan hukum atas kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Termasuk untuk mengevaluasi perizinan perusahaan-perusahaan yang diduga ikut melakukan pembakaran hutan dan lahan.
Tim gabungan itu menurut Arie juga terdiri dari kementerian terkait dan pemda yang terdampak karhutla.
“Tim gabungan itu harus dipimpin langsung Presiden dengan terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta gubernur daerah yang terdampak karhutla,” jelas Arie dalam acara diskusi “Karhutla: Kebakaran Hutan Lagi?” di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9/2019).
Baca: Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Terima Anugerah Pendidikan dari Ikatan Guru Indonesia
Menurutnya jika tim gabungan itu sudah dibentuk pasca-kebakaran hutan dan lahan parah tahun 2015 lalu, maka bisa jadi persoalan karhutla tahun 2019 tak separah saat ini.
Sementara itu dalam acara yang sama, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani mengatakan hingga saat ini pihaknya sudah menyegel 52 lahan konsensi perusahaan yang diduga terkait dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Ia menerangkan lahan yang disegel tersebut memiliki luas lebih dari 9 ribu hektar.
“Lahan yang kami segel itu barada di kawasan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur,” ujar pria yang akrab disapa Roi tersebut.
Ia menambahkan hingga saat ini pihak KLHK juga sudah menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka karhutla.
Yaitu PT SKM, PT ABP, dan PT AER di Kaimantan Barat; PT KS dan PT IFP di Kalimantan Tengah.
Rasio Ridho Sani mengatakan tak menutup kemungkinan bertambahnya perusahaan yang akan ditetapkan sebagai tersangka maupun lahan yang disegel.
Karena menurutnya pihak kepolisian dan pemerintah daerah juga melakukan penyidikan serta penetapan-penetapan tersangka.
“Kami juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar segera menetapkan sanksi administratif mulai dari perintah perbaikan, pembukuan hingga pencabutan izin. Sanksi administratif ini menurut kami cukup cepat dan cukup efektif karena memanfaatkan pengawasan yang sudah ada terhadap perusahaan-perusahaan pemilik konsesi lahan,” tegasnya.
Di samping itu, ia menjelaskan bahwa KLHK telah menyiapkan gugatan perdata terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan.
“Sejak 2015 kami sudah ajukan gugatan perdata terhadap 17 perusahaan yang diduga menyebabkan karhutla. Sembilan sudah inkracht dan nilai gugatan sampai ganti ruginya mencapai Rp 3,9 triliun,” pungkasnya.