Saat itu, langit di Palangkaraya, beberapa kali mengalami langit berwarna orange akibat kebakaran hutan dan lahan.
Berarti, ukuran debu partikel polutan (aerosol) saat itu dominan lebih kecil/lebih halus (fine particle) daripada fenomena langit memerah di Muaro Jambi kali ini.
Hamburan Rayleigh
Di sisi lain, astronom amatir Indonesia, Marufin Sudibyo menjelaskan, fenomena langit berwarna merah bukanlah disebabkan tingginya suhu atau pengaruh api.
"Ini nampaknya fenomena Hamburan Rayleigh," ujar Marufin saat dikonfirmasi terpisah Kompas.com, Sabtu (21/9/2019).
"Hamburan Rayleigh itu hamburan elastis pada cahaya oleh partikel-partikel mikro/nano di udara yang ukurannya lebih kecil dari panjang gelombang cahaya tampak," tambahnya.
Marufin mengungkapkan, fenomena ini umum dijumpai.
Pasalnya, fenomena Rayleigh menjadi penyebab langit berwarna biru pada siang hari dan memerah kala senja atau fajar.
"Dalam kasus Jambi, kepadatan partikel-partikel mikro/nano di udara nampaknya cukup besar sehingga lebih padat ketimbang konsentrasi partikel pada udara normal," ujar Marufin.
"Karena lebih padat maka berkas cahaya Matahari yang melewatinya akan dihamburkan khususnya pada panjang gelombang pendek (spektrum biru dan sekitarnya) hingga medium (spektrum hijau dan sekitarnya)," kata dia.
Sehingga, hanya menyisakan panjang gelombang panjang (spektrum merah dan sekitarnya) yang dapat menerus sampai ke permukaan bumi.
Hal itulah yang membuat langit tampak berwarna kemerahan yang terlihat seperti di Muaro Jambi.
Selain itu, Marufin menyampaikan, mekanisme serupa dengan langit memerah yang cukup lama (dan tidak umum) dengan lama waktu berjam-jam sebelum terbenam matahari.
Misalnya, pasca terjadi letusan dahsyat gunung berapi seperti teramati pada kejadian pasca-letusan Krakatau pada tahun 1883 maupun Pinatubo pada tahun 1991.