Selain itu, keputusan ini juga dikarenakan masih banyaknya materi yang bermasalah dalam RKUHP. Dia mencatat ada 14 pasal bermasalah dalam RKUHP itu.
Keputusan itu disampaikan Presiden Jokowi sehari setelah adanya gelombang unjuk rasa dari mahasiswa di depan Gedung DPR RI.
Baca: Airlangga Bertemu Pejabat Partai Komunis China, Bahas Investasi dan Kebijakan Pemerintah Indonesia
Kelompok mahasiswa menolak RUU KPK dan RKUHP karena prosesnya yang janggal, lebih mementingkan kepentingan tertentu dan mengancam demokrasi di Indonesia.
Terkait dengan polemik RUU Pemasyarakatan yang dinilai mempermudah pembebasan bersyarat koruptor, Jokowi memilih menolak berkomentar banyak.
"Saat ini saya masih fokus pada RUU KUHP. Yang lain menyusul karena ini yang dikejar oleh DPR kurang lebih ada empat (RUU)," kata Jokowi sebelumnya.
Jauh hari sebelum kelompok mahasiswa turun ke jalan, para pimpinan dan pegawai KPK lebih dulu menyuarakan penolakan terhadap revisi UU KPK oleh DPR dan pemerintah.
Penolakan kembali dilakukan setelah DPR mengesahkan RUU KPK pada Selasa, 17 September 2019.
Sebab, seluruh materi yang dibuat dalam RUU KPK tersebut tanpa meminta masukan dari lembaga KPK serta dilakukan secara cepat dan senyap.
Selain itu, RUU KPK yang disahkan oleh DPR lebih banyak menghilangkan kewenangan penindakan KPK dan mengalihkannya kepada Dewan Pengawas bentukan presiden.
Standar Ganda
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai Presiden Jokowi menerapkan standar ganda dalam menyikapi polemik Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU KPK.
Diduga standar ganda ini dilakukan karena ada perbedaan kepentingan elite politik terhadap dua RUU ini.
Feri menyebut RKUHP tak berkaitan langsung dengan kepentingan Presiden dan rekan-rekannya di Senayan.
Sementara, untuk revisi UU KPK, para elite politik memang memiliki kepentingan untuk melemahkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.