Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggota Badan legislasi dari Fraksi PDIP, Hendrawan Soepratikno menilai bahwa sistem kerja Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah direvisi lebih kuat apabila dibandingkan undang-undang yang sama, sebelum direvisi. Pasalnya undang-undang yang baru saja direvisi menganut asas dua tingkat.
"Minta pengamat hukum untuk mengkaji kekuatan dan kelemahan sistem dua tingkat (two-tiers system) yang diangkat dalam revisi UU KPK, dibanding sistem satu tingkat (single tier system) yang ada di UU lama. Sejarah membuktikan, dalam evolusi kelembagaan modern, sistem dua tingkat lebih mampu bertahan dalam berbagai situasi," kata Hendrawan kepada wartawan, Minggu (22/9/2019).
Yang dimaksud dua tingkat menurut Hendrawan, penanggung jawab tertinggi lembaga bukan hanya terletak pada 5 komisioner.
Baca: Ribuan Orang Pengunjuk Rasa di Wamena Anarkis, Bakar Sejumlah Bangunan
Baca: Ribuan Massa Pengunjuk Rasa di Wamena Anarkis, Bakar Sejumlah Bangunan
Baca: Kasus Imam Nahrawi, KPK Panggil Mantan Sesmenpora periode 2014-2016
Komisioner KPK, melainkan juga pada 5 orang yang nanti akan menjabat Dewan Pengawas KPK. Sistem dua tingkat tersebut menurut Hendrawan banyak digunakan oleh lembaga lembaga komersial.
"Hampir semua lembaga bisnis berdaya saing global, (misalnya) MNC, menggunakan format korporasi terbuka, semua pakai sistem dua tingkat. Demikian pula organisasi sosial, pelaksanaan dan pengawasan dibuat sebagai proses check-recheck yang berkesinambungan," katanya.
Menurutnya, Check and balance sangat diperlukan dalam sebuah organisasi. apalagi lembaga negara dengan anggaran dan kewenangan yang sangat besar, seperti KPK.
"Justru sebagai lembaga negara dengan kewenangan besar, sistem itu lebih penting diterapkan. Lembaga swasta yang tidak pakai uang negara dan pejabatnya tidak disumpah saja butuh check and balance, apalagi lembaga negara," pungkas Hendrawan.
Sebelumnya, revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menghasilkan struktur baru.
Dalam Revisi yang telah disahkan dalam rapat Paripurna pada Selasa siang (17/9/2019), kini terdapat dewan pengawas di lembaga anti-rasuah itu.
Berdasarkan pasal 21 ayat 1 UU KPK yang baru saja direvisi, Dewan Pengawas tersebut terdiri dari lima orang. Masa jabatan dewan pengawas tersebut sama dengan komisioner KPK yakni 4 tahun. Dewan Pengawas hanya boleh dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.
"Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalampasal 27 ayat (1) huruf a" bunyi pasal 37 a.
Dewan pengawas diberi sejumlah kewenangan yang sangat besar di KPK. Dalam pasal 37 b disebutkan bahwa tugas Dewan Pengawas terdri dari:
1. Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;
3. Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
4. Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang.
5. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
6. Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala satu kali dalam satu tahun.
Dewan pengawas juga diberi kewenangan membentuk struktur organ pelaksana pengawas. Dewan pengawas sendiri ditetapkan oleh presiden. Seleksi dilakukan anggota dewan pengawas dilakukan oleh panitia seleksi yang dibentuk oleh presiden
"Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 a, diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia" bunyi pasal 37E ayat 1.