TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tiga orang direksi Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) dan enam orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta dan Bogor, Senin (23/9/2019).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan, OTT ini merupakan bentuk komitmen KPK. Ditegaskan, KPK akan terus bekerja memberantas korupsi apapun kondisi yang terjadi.
"Meskipun dalam kondisi yang kita ketahui saat ini berbagai pihak berupaya untuk melemahkan KPK kami berupaya semaksimal mungkin untuk tetap bekerja. Karena hanya dengan cara-cara seperti ini, hanya dengan kerja yang serius seperti ini kami bisa sampaikan ke publik bahwa pemberantasan korupsi harus berjalan terus," ujar Febri kepada wartawan, Selasa (24/9/2019).
KPK membantah pernyataan sejumlah pihak, termasuk Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang menyebut pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK menghambat investasi.
Penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi menjadi salah satu faktor utama peningkatan investasi.
Hal ini berdasar hasil kajian maupun data dari pemerintah seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menunjukkan investasi justru mengalami peningkatan.
"Kalau lihat data ada dari ease doing of business dan data-data yang dikeluarkan pemerintah, data investasi justru tidak terjadi penurunan bahkan peningkatan," katanya.
Ditegaskan, yang dibutuhkan KPK saat ini komitmen dari seluruh pihak terutama pemerintah dan DPR untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Menurutnya, keliru jika hanya karena satu atau dua kasus yang dipersoalkan justru menjadi alasan pemerintah dan DPR memangkas kewenangan KPK melalui revisi UU.
Febri mengatakan, KPK mengajak semua pihak lebih terbuka melihat ada lebih 1.000 perkara yang diproses selama KPK ada.
"Apakah karena satu kasus kemudian itu jadi alasan untuk memangkas kewenangan KPK saya kira itu juga tidak masuk akal kalau kita berdisksui lebih lanjut," katanya.
Febri menuturkan, kalaupun ada perkara butuh waktu untuk penanganan perkara yang lama. semestinya ada regulasi-regulasi yang membantu untuk mempercepat penanganan perkara. Apakah regulasi kerja sama lintas negara atau regulasi-regulasi misalnya terkait aset recovery lintas negara?
"Bukan dengan logika sebaliknya ketika ada perkara butuh waktu lebih lama dan kemudian ada kendala dalam penanganannya justru kewenangan KPK yg dipangkas. Bukankah dengan kewenangan dipangkas maka penanganan perkara lain akan terimbas," kata Febri.
KPK saat ini telah membentuk tim transisi untuk mengkaji secara rinci UU KPK yang baru. Tim transisi bertugas memitigasi agar pemberantasan korupsi dapat terus berjalan dengan UU KPK baru yang dinilai memiliki sejumlah poin yang berisiko menghambat kerja KPK.
"Risiko itu perlu diminimalisir dengan analisis yang lebih tepat dan juga turunan-turunan tindakan yang kami lakukan setelah RUU ini mulai terpaku nantinya," ujar Febri.
Untuk saat ini, kata Febri, kajian yang dilakukan tim transisi belum ditujukan sebagai rekomendasi kepada pihak lain, termasuk presiden terkait UU KPK yang baru.
Dikatakan, tim transisi hanya mengkaji isi UU KPK baru untuk ditindaklanjuti oleh pimpinan dan internal KPK agar pelemahan pemberantasan korupsi dapat diminimalisir.
Untuk itu, tim transisi tidak diburu waktu menyelesaikan hasil kajian sebelum Presiden Jokowi menandatangani UU KPK baru dan mengundangkannya.
Menurut Febri, tim transisi ini belum ditujukan untuk rekomendasi secara eksternal. Jadi poinnya adalah apa dan bagaimana proses lebih lanjut yang harus dilakukan KPK pasca RUU revisi kedua UU KPK diketok kemarin tentu mulai berlaku setelah diundangkan oleh Presiden tapi bukan timing itu jadi poin.
Febri menjelaskan, yang jadi poin adalah bagaimana Undang-undang ini bisa berlaku dan implementatif nantinya dan target KPK sederhana agar risiko kerusakan dan pelemahan itu bisa diminimalisir sedemikian rupa, tapi kalau UU sudah sangat sulit atau bertentangan satu sama lainnya dan ada pasal-pasal vital maka tentu akan lebih sulit untuk bisa menerapkannya dalam operasional KPK sehari-hari, dan itu tantangan tim transisi ini.
"Nanti tim ini akan lapor ke pemimpinan tindakan cepat dalam waktu cepat yang bisa dilakukan dan apa tindakan yang dilakukan sebulan dua bulan yang perlu dilakukan," ujar Febri.
Suap Impor Ikan
Dalam OTT kemarin, KPK menyita uang tunai sekitar USD 30.000 atau sekitar Rp 400 juta. Uang tersebut diduga merupakan barang bukti transaksi suap yang melibatkan tiga direksi Perum Perindo.
Berdasarkan situs resminya, www.perumperindo.co.id, Perum Perindo memiliki tiga orang direksi. Direktur Utama (Dirut) dijabat oleh Risyanto Suanda, sementara dua direksi lainnya, yakni Direktur Keuangan Arief Goentoro dan Direktur Operasional Farida Mokodompit.
Diduga, ketiga direksi Perum Perindo itu menerima suap terkait kuota impor ikan jenis tertentu.
"Kami mendapat informasi akan terjadi transaksi terkait kuota impor ikan jenis tertentu. setelah kami cek di lapangan kami menemukan barang bukti sekitar USD30 ribu yang kami duga itu merupakan bagian dari fee terkait kuota impor ikan tersebut," kata Febri.
KPK menyesalkan terjadinya suap ini. Apalagi mengingat Indonesia merupakan negara penghasil ikan.
"Itu kita sayangkan ya posisi Indonesia sebagai negara penghasil ikan kemudian dalam konteks ini kami termukan dugaan transaksi yang diduga merupakan fee terkait kuota impor ikan jenis tertentu. Kami sedang mendalami lebih lanjut apakah ada penerimaan-penerimaan sebelumnya terhadap jajaran direksi dari salah satu BUMN yang bergerak di bidang perikanana," katanya.
Saat ini sembilan orang yang ditangkap, termasuk tiga direksi Perum Perindo sedang diperiksa intensif oleh tim penyidik KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Lembaga antirasuah memiliki waktu 1x24 jam untuk menentukan status hukum perkara pasca OTT.