News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus BLBI

Pasangan Suami Istri Sjamsul dan Itjih Nursalim Masuk Dalam Daftar Pencarian Orang

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasukkan pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim beserta istrinya, Itjih Nursalim dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Pasangan suami istri tersebut merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya telah mengirimkan surat kepada Kabareskrim Polri untuk meminta bantuan melacak Sjamsul dan Itjih.

Baca: Ini Hunian Paling Ikonik Di Dunia Yang Baru Diresmikan Di Sydney

Baca: Tes Kepribadian: Ungkap Karakter Aslimu Lewat Pilihan Siapa Anak yang Menurutmu Memecahkan Vas

Baca: Massa Bertahan di Kawasan Semanggi, Bakar Pembatas Jalan Hingga Lempar Batu ke Arah Barracuda

"Setelah itu, KPK melakukan koordinasi dengan pihak Polri dan instansi terkait lainnya," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (30/9/2019).

Sebelumnya, KPK telah melakukan penyidikan dan menetapkan Sjamsul dan Itjih Nursalim sebagai tersangka sejak 10 Juni 2019.

Sjamsul dan Itjih ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Setelah penetapan tersangka, diketahui KPK telah memanggil Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka sebanyak dua kali untuk diperiksa di Gedung Merah Putih KPK pada Jumat, 28 Juni 2019 dan Jumat, 19 Juli 2019.

Surat panggilan untuk Sjamsul dan Itjih telah dikirimkan ke lima alamat di Indonesia dan Singapura.

Alamat di Indonesia ada di rumah Sjamsul dan Itjih di Simprug, Grogol Selatan, Jakarta Selatan. Sementara alamat Singapura ada di 20 Cluny Road; Giti Tire Plt. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley; dan 18C Chatsworth Rd.

Selain mengantarkan surat panggilan pemeriksaan tersebut, KPK juga sudah meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura.

Selain itu, KPK juga meminta bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura.

Sejak 10 Juni 2019, KPK telah memeriksa 30 saksi dalam penyidikan ini, yaitu dengan unsur saksi Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri; Direktur Hukum Lembaga Penjamin Simpanan; Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; Mantan Ketua BPPN; Pensiunan Menteri BUMN; Mantan Menteri Keuangan dan Ketua KKSK; Ekonom; Advokat; hingga unsur Swasta.

Respons kuasa hukum

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan tersangka kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Ijtih Nursalim sebagai daftar pencarian orang (DPO) KPK.

Penetapan itu dilakukan setelah obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) ini mangkir dua kali dari pemeriksaan penyidik KPK.

Menanggapi hal tersebut,  Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail mempertanyakan dasar keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memasukkan kliennya dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Menurut Maqdir, keputusan KPK itu menyimpang dari putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).

Baca: Persib Bandung Keok lagi di Kandang Barito Putera Lewat Sundulan Adi Setiawan

Baca: 10 Persen Layanan Komunikasi Indosat Terdampak Pemadaman Listrik PLN

Baca: Gangguan Jaringan karena Padamnya Listrik, XL Axiata: Kami Mohon Maaf

“Keputusan KPK tidaklah masuk akal karena MA telah memutuskan bahwa tindakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) bukan merupakan perbuatan pidana,” kata Maqdir Ismail di Jakarta, Minggu (4/8/2019).

Ia mengatakan, apabila SAT tidak melakukan tindak pidana, bagaimana mungkin SN yang dikatakan bersama-sama dalam dakwaan dan putusan pengadilan tindak pidana korupsi perkara ini, bisa dianggap melakukan tindak pidana.

“KPK hingga kini belum bisa menjelaskan hal ini. Oleh karenanya, penetapan SN sebagai buronan merupakan suatu penyalahgunaan wewenang oleh KPK," ujarnya, seraya menambahkan bahwa hal ini akan menjadi preseden buruk dan akan menjadi beban bagi pimpinan KPK yang akan datang.

"Seharusnya komisioner KPK yang sudah mau berakhir masa jabatannya ini tidak menyandera pimpinan KPK yang akan datang."

KPK sebelumnya telah menetapkan SN sebagai DPO. Hal itu dikonfirmasi Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat ditanya mengenai status SN. "Iya DPO, iya," kata Saut saat ditanya wartawan di kantornya, Jumat (2/8).

Maqdir Ismail juga mempertanyakan apa dasar hukum KPK dalam penetapan DPO tersebut. “KPK sama sekali tidak memiliki dasar hukum apapun untuk menetapkan SN sebagai buronan,” tandasnya.

Buronan, katanya, adalah seorang yang melarikan diri dari hukum. “Sedangkan SN tidak perlu melarikan diri dari apapun, karena SN tidak memiliki masalah dengan hukum,” tegasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini