TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Massa buruh Konfederasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KSPMI) menolak rencana pemerintah untuk merevisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Ketua Harian KSPMI Muhammad Rusdi menilai revisi tersebut membuat Presiden Joko Widodo kembali tidak pro buruh.
"Kami melihat kebijakan Pak Jokowi di lima tahun kemarin yang tidak pro buruh. Ini sepertinya akan kembali tidak pro buruh," ujar Rusdi, dalam sela-sela aksi unjuk rasa, di Jl Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Rabu (2/9/2019).
Menurutnya, rencana revisi dari Jokowi itu akan membahayakan masa depan buruh serta anak-anak buruh.
Baca: Polisi Buru Pelaku Penculikan Ninoy Karundeng
Pasalnya, kata dia, pasar kerja, status kerja dan hubungan kerja akan semakin menjadi fleksibel. Sehingga buruh akan semakin mudah direkrut, namun juga mudah dikenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa pesangon.
"Masa depan anak buruh akan suram. Kalau kita mengenal sebelumnya outsourcing itu sangat mengerikan, ke depan outsourcing akan dipermudah, kontrak akan dipermudah dan juga pemagangan bukan bagi yang masih sekolah atau kuliah, tapi bagi yang sudah lulus sekolah, lulus kuliah. Ini adalah perbudakan model baru," kata dia.
Rusdi mengatakan pemerintah merevisi UU Nomor 13 Tahun 2003 itu dengan dalih ingin membuat iklim investasi lebih kondusif.
Namun dirinya tak sepakat, ia menilai revisi itu adalah kedok untuk membuka perbudakan di era modern.
"Perbudakannya itu kerja. Kerja tapi miskin, kerja sekian jam, 8 jam, 10 jam, tapi tidak membuat buruh atau pekerja atau karyawan jadi sejahtera. Nah, sama yang terjadi dulu di romusa, terjadi di dalam konteks tanam paksa, mereka kerja, tapi kemudian hanya diperas keringatnya tapi tidak membuat sejahtera," tandasnya.
Diketahui, KSPMI sendiri terdiri atas sembilan federasi buruh dari multisektor industri, di antaranya sektor semen, kimia, energi pertambangan, jasa, otomotif, farmasi, dan kesehatan.