Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) akan melakukan uji materi atau judicial review terhadap Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi.
Pengajuan uji materi dilakukan karena prosedur pembuatan aturan mengenai komisi antirasuah tersebut dinilai cacat.
Anggota DPR yang menghadiri Sidang Paripurna pengambilan keputusan pengesahan revisi UU KPK dinilai tidak memenuhi syarat.
Baca: Gawat, Manchester City Masih Belum Mampu Tembus Pertahanan Wolves
"Upaya ini untuk mencegah DPR menjadi koboi," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, saat dihubungi, Minggu (6/10/2019).
Dia menjelaskan hanya 80 orang dari total 560 orang anggota DPR RI periode 2014-2019 yang menghadiri sidang paripurna pengambilan keputusan pengesahan hasil revisi UU tentang KPK.
Jika, mengacu pada Pasal 32 Peraturan DPR RI Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib, kata dia, pimpinan DPR wajib memperhatikan kuorum rapat.
Baca: Seorang Wanita Lanjut Usia Tewas Terpanggang Akibat Kebakaran di Talang Semut Palembang
Adapun, menurut dia, rapat paripurna dinyatakan kuorum apabila dihadiri lebih dari separuh jumlah total anggota DPR yang terdiri dari atas lebih dari separuh unsur fraksi.
"Secara fisik yang hadir hanya 80 orang, itu sama saja tidak memenuhi kuorum. Artinya sidang itu ilegal atau tidak sah. Total anggota DPR RI itu ada 560 orang. 80 anggota dewan yang hadir itu juga tidak sampai setengahnya," kata dia.
Untuk itu, dia meminta, MK mengabulkan uji materi tersebut.
Baca: Kabar Intan Indah Syari, Wanita Viral Karena Calon Suami Jadi Korban Lion Air JT610, Kini Berbahagia
Sebab, dia menegaskan, apabila proses pembuatan dan pengesahan model "koboi" dilakukan akan menimbulkan preseden buruk ke depan.
"Dengan model koboi begini dan jika dibiarkan maka korbannya bukan hanya rakyat, tetapi bisa jadi presiden akan menjadi korban juga. Misal pengesahan APBN. Nah disinilah kita berkewajiban mencegah DPR jadi coboy," katanya.
Tidak akan runtuhkan kewibawaan presiden
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan penerbitan Perppu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan meruntuhkan kewibawaan Presiden Jokowi.
"Pak Jokowi bukan hanya kepala pemerintah, tapi juga kepala negara. (Menerbitkan Perppu) tidak sama sekali meruntuhkan wibawa presiden di mata hukum dan masyarakat," kata Isnur di Kantor YLBHI, Jalan Dipnegoro, Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).
Sebelumnya, beragam pendapat bermunculan menyikapi disahkan RUU KPK oleh DPR RI.
Pengamat politik, pengamat hukum, hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla pun memberikan pandangannya terkait polemik tersebut.
Baca: MotoGP Pilih Cuitan Orang Indonesia dalam 16 Ucapan Selamat pada Marc Marquez
Baca: Muzdalifah Curhat Soal Kehidupan Rumah Tangganya Jadi Sorotan, Unggahan Terbarunya Banjir Komentar
Beberapa waktu lalu, Jusuf Kalla menolak usulan diterbitkannya Perppu yang akan membatalkan UU KPK hasil direvisi.
"Ya kan ada jalan yang konstitusional yaitu judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi), itu jalan yang terbaik karena itu lebih tepat. Kalau Perppu itu masih banyak pro kontranya," kata Jusuf Kalla, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (1/10/2019).
Menurutnya, RUU KPK disahkan berdasar kesepakatan pemerintah dan DPR.
Baca: Respons Kapolda Sumut Sikapi Kasus Polisi Tembak Istri Lalu Bunuh Diri di Sergai
Jusuf Kalla berpandangan dengan diterbitkan Perppu KPK dikhawatirkan bisa mengurangi kewibawaan pemerintah.
"Karena baru saja Presiden teken berlaku, (lalu) langsung Presiden sendiri tarik, kan tidak bagus. Di mana kita mau tempatkan kewibawaan pemerintah kalau baru teken berlaku kemudian kita tarik?Logikanya di mana?" ujar Jusuf Kalla.
Kekeliruan biasa
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI, Yandri Susanto, menilai beberapa kesalahan penulisan atau typo dalam naskah Undang-Undang KPK hasil revisi hanya masalah kekeliruan biasa.
Kata Yandri, kekeliruan tersebut dapat diperbaiki tim khusus tanpa mengurangi makna atau muatan di dalamnya.
"Ya tidak ada (banyak typo). Jadi di Undang-Undang itu kalau pun ada persoalan masalah kekeliruan biasa ada tim khusus atau nama tim apa namanya ya, bukan sapu bersih akselerasi apa gitu," kata Yandri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (4/10/2019).
Yandri Susanto menyebut adanya pengembalian naskah Undang-Undang akibat adanya kekeliruan atau kesalahan dalam penulisan kepada DPR dibenarkan oleh aturan.
Baca: Kata Pakar, Jokowi Bisa Terbitkan Perppu Penangguhan UU KPK Hasil Revisi
"Jadi kalau ada hal-hal yang keliru terhadap pembahasan pemerintah itu ada yang keliru ya memang bisa dikembalikan ke DPR tanpa mengurangi makna ataupun muatan yg sudah disekapati," katanya.
DPR pun melakukan perbaikan sesuai dengan catatan-catatan pada saat pembahan undang-undang.
"Jadi itu bukan masalah DPR seenak-enaknya melulu mengubah, tidak. Itu sesuai dengan, kan ada rekamannya ada catatannya. Jadi itu akan dikembangkan," katanya.
Baca: Daftar Kekayaan Krisdayanti, Mulan Jameela, Farhan & Tommy Kurniawan, Segini Milik Hillary Brigitta
Ketua DPP PAN ini juga mengomentari belum ditandatanganinya revisi UU KPK oleh Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, produk UU hasil kesepakatan DPR dan pemerintah akan berlaku secara otomatis, kendati Presiden tidak memberikan nomor atau menandatanganinya dalam waktu enam bulan.
Yandri menambahkan, UU KPK nantinya akan resmi berlaku pada waktunya, meskipun Presiden tidak membubuhkan tandatangannya atas UU tersebut.
Baca: Didominasi Politisi di Kursi BPK, Faisal Basri Khawatirkan Pemberantasan Korupsi
"Sebuah produk UU hasil kesepakatan DPR dan pemerintah. Memang Presiden berhak memberikan nomor atau menandatangani dalam waktu paling lambat 6 bulan, kalau tidak ditandatangani pun berlaku itu UU dan akan diberikan di lembaran negara sebagai UU resmi, jadi kalau pak presiden tidak tanda tangan itu UU pada waktunya akan berlaku," kata Yandri.
Sebelumnya, Mensesneg Pratikno menyebut Istana telah mengirimkan kembali naskah revisi UU KPK ke DPR lantaran ada beberapa kesalahan penulisan atau typo dalam UU tersebut.
Ada typo
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menjelaskan memang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi sudah dikirim oleh DPR ke Presiden Jokowi.
Tapi, lanjut Pratikno, ada kesalahan penulisan atau typo dalam UU KPK yang baru itu.
Namun, Pratikno tidak menyebut berapa jumlah typo dalam UU KPK tersebut.
"Sudah dikirim, tetapi masih ada typo, yang itu kami minta klarifikasi. Jadi mereka (DPR) sudah proses mengirim (lagi) katanya, sudah di Baleg," tegas Pratikno, Kamis (3/10/2019) di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta.
Baca: Kemlu Pastikan Kawal Insiden Jurnalis WNI yang Tertembak di Hong Kong
Pratikno juga menyebut pihaknya sudah meminta klarifikasi atas typo dalam UU KPK.
Dia tidak ingin nantinya ada perbedaan interpretasi terhadap payung hukum baru bagi KPK.
"Ya typo-typo yang perlu klarifikasi, yang nanti bisa menimbulkan interpretasi," ucapnya.
Untuk diketahui, Presiden Jokowi juga belum meneken UU KPK hasil revisi tersebut. UU itu sebelumnya telah disahkan oleh DPR pada 17 September lalu.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU yang sudah disepakati bersama DPR dan pemerintah dikirim ke presiden untuk disahkan.
Kemudian presiden, dalam waktu paling lama 30 hari dari waktu RUU itu disetujui DPR dan pemerintah, mengesahkan RUU tersebut.
Jika dalam jangka waktu itu tidak kunjung ditandatangani presiden, maka RUU tersebut tetap berlaku.