Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menyarankan Presiden Joko Widodo menunggu hasil uji materi atau judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut dia, hakim konstitusi di MK akan menentukan apakah Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi sesuai atau bertentangan dengan konstitusi.
Dia menilai, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) bukan satu-satunya pilihan yang dapat ditempuh oleh presiden terhadap berlakunya UU KPK tersebut.
"Perppu bukan pilihan utama karena ada pilihan lain yang lebih elegan," ujarnya saat dihubungi, Senin (7/10/2019).
Jika mengacu konstitusi, kata dia, syarat diterbitkan Perppu adalah adanya "hal ihwal kegentingan yang memaksa". Dia menilai penerbitan Perppu tidak mempermudah konstruksi kegentingan memaksa negara.
Dia menambahkan, apabila Perppu didesak agar dikeluarkan sekarang ini, maka konstruksi darurat akan menjadi dipermudah. Sehingga, dia mengkhawatirkan akan menjadi tradisi ketatanegaraan yang mengabaikan kepastian hukum.
"Mempertimbangkan hal itu sebaiknya tidak dikeluarkan Perppu," kata dia.
Baca: Perppu KPK Disusun Usai Pelantikan Jokowi, Ini Kata Tjahjo Kumolo
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima berkas permohonan uji materi atau judicial review terhadap berlakunya hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah disahkan melalui paripurna di DPR RI.
Berdasarkan informasi yang disampaikan Juru Bicara MK, Fajar Laksono, MK sudah menerima satu permohonan uji materi undang-undang itu yang diajukan pada Rabu (18/9/2019).
Pada berkas permohonan itu tercatat ada 18 pemohon yang berasal dari berbagai latar belakang mulai dari mahasiswa, politisi dan wiraswasta.
Salah satu poin pada pokok perkara yang diminta pemohon berupa menyatakan pembentukan hasil revisi UU KPK tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
"Diterima di kepaniteraan iya, karena tidak boleh MK menolak perkara," kata Fajar, saat dihubungi, Rabu (18/9/2019).
Setelah menerima permohonan uji materi, kata dia, langkah selanjutnya adalah diproses sesuai hukum acara. Pihaknya akan memverifikasi kelengkapan permohonan.
Sesudah lengkap sejumlah persyaratan yang diminta, seperti permohonan tertulis, identitas Pemohon (sebagai alat bukti), daftar alat bukti, dan alat bukti, maka pihaknya akan melakukan registrasi permohonan.
"Kalau sudah diregistrasi baru disidangkan," ujarnya.
Meskipun di undang-undang itu belum diberikan nomor, dia menegaskan, pihaknya akan tetap memproses permohonan uji materi.
"Bahwa undang-undang dimaksud belum diundangkan, belum ada nomor, maka sebetulnya belum ada objectum litisnya. Langkah selanjutnya, diproses sesuai hukum acara," kata dia.
Sebab, dia menambahkan, dapat saja pada masa tahapan proses registrasi hingga masuk tahapan persidangan pengujian undang-undang, undang-undang yang diujikan sudah diberikan nomor.
"Bisa saja dalam perjalanan permohonan, UU itu diundangkan. Atau kalau belum sekiranya diregistrasi, hal itu akan dinasihatkan majelis hakim kepada pemohon ketika sidang pendahuluan," tambahnya.