TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyambut HUT Ke-74 TNI yang jatuh pada 5 Oktober 2019, Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute menilai banyak terjadi kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM pada sepuluh tahun pertama atau satu dekade pertama reformasi TNI sejak 1998.
SETARA Institute menilai sejumlah hal postitif terjadi dalam proses reformasi TNI di dekade pertama tersebut antara lain penghapusan Dwi Fungsi ABRI, pemutusan hubungan dengan Golkar dan partai politik, dan penarikan fraksi ABRI dari parlemen.
Ada pula diundangkannya TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR Nomor VII/MPR/ 2000 tentang penetapan peran TNI dan Polri, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Baca: Puan Maharani Jamin DPR Kritisi Kebijakan Pemerintah
Tidak hanya itu, SETARA institute juga menilai positif pembentukan tim kementerian untuk menyelesaikan pengambilalihan bisnis TNI yang berhubungan dengan pelaksanaan Pasal 76 UU TNI dan untuk menyusun rancangan keputusan presiden pada tahun 2005 dan penerbitan Keppres No 7/2008 tentang Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI.
Menurut SETARA institute, hal tersebut sejalan dengan larangan berbisnis pada Pasal 2 huruf d UU TNI, serta Pasal 76 ayat (1) UU TNI bahwa dalam jangka waktu lima tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut, Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung.
"Dekade pertama reformasi TNI mencatatkan agenda-agenda reformasi yang impresif akan tetapi dekade pertama juga menjadi basis terjadinya sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM," kata Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA institute Iksan Yosarie saat konferensi pers di Kantor SETARA Institute, Jakarta Selatan pada Selasa (8/10/2019).
Ia juga menjelaskan sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM pada dekade pertama reformasi TNI.
Sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut antara lain penculikan dan penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, Tragedi Semanggi I dan II, kekerasan di Timor Timor, Aceh, dan Papua.
Baca: Kisah Pilu Bocah 15 Tahun Idap HIV +, Orang Tua Malu dan Tega Kurung Anaknya Hingga Meninggal
Tidak hanya itu, ia juga menilai terdapat sejumlah persoalan lain yakni pembahasan RUU Pemilu yang memungkinkan anggota TNI-Polri mempunyai hak memilih dan dipilih pada Pemilihan Umum 2004, penggunaan kendaraan TNI untuk mobilisasi massa guna melakukan pencoblosan pada Pemilu 2004 di kompleks Pondok Pesantren Al Zaytun.
"Ada pula deadlock-nya pembahasan revisi UU Peradilan Militer karena DPR dan pemerintah memiliki pandangan berbeda soal peradilan militer pada tahun 2006," kata Iksan.