TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Beberapa waktu belakangan masyarakat dihebohkan dengan harta karun yang terdapat di lokasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Harta karun yang diyakini peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu berupa cincin, manik-manik, hingga lempengan yang terbuat dari logam mulia, emas.
Hingga kini harta karun tersebut masih diburu oleh masyarakat Desa Pelimbangan, Kecamatan Cengal ogan Komering Ulu (OKI), Sumatera Selatan.
Perburuan Harta Karun masih Belanjut Gaeesss... Lokasi : Muara Desa Pelimbangan Kec. Cengal OKI .
.
.
.
#wangkitenian
#hartakarun
#kerajaansriwijaya
#cengal
#OKI
Warga OKI Berbondong-Bondong Buru Harta Karun Kerajaan Sriwijaya di Lahan Bekas Kahutla
Diberitakan sebelumnya, warga Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, berbondong-bondong memburu harta karun di lahan bekas kebakaran hutan dan lahan.
Harta karun yang diyakini peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu berupa cincin, manik-manik, hingga lempengan yang terbuat dari logam mulia, emas.
Menurut arkeolog, temuan itu memiliki nilai sejarah tinggi karena usianya bisa jadi sebelum masa Kerajaan Sriwijaya ada.
Tapi masyarakat pemburu harta karun, memilih untuk menjualnya ke toko emas demi mendapatkan uang kontan.
"Mata rantai ilmu pengetahuan itu bisa tidak nyambung. Putus," kata Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Budi Wiyana, Minggu (6/10/2019).
Balai Arkeologi Sumsel telah melakukan penelitian mengenai perjalanan Kerajaan Sriwijaya sejak 2000 silam.
Mereka berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Hasil penelitian di antaranya tiang rumah, gerabah, papan perahu yang usianya lebih tua dari Kerajaan Sriwijaya.
"Ada yang abad ke-2, ada yang abad ke-4. Itu sebetulnya menarik. Di lokasi-lokasi itu ada tiang-tiang juga, ada pemukiman," tambah Budi.
Kerajaan Sriwijaya diyakini menjadi kerajaan terbesar di Nusantara yang menguasai perdagangan di kawasan Asia Tenggara.
Bukti awal keberadaan kerajaan ini berdasarkan catatan seorang biksu asal Tiongkok, I Tsing pada 671 Masehi. Sriwijaya berkuasa hingga abad ke-10.
Kemunculan Kerajaan Sriwijaya ini diyakini memiliki hubungan dengan Kerajaan Melayu Funan di delta Sungai Mekong.
Kerajaan Funan merupakan kerajaan terkuat di Asia Tenggara pada awal Masehi hingga abad ke-6 M.
Selama puluhan tahun meneliti, Balai Arkeologi Sumsel menemukan benda-benda bersejarah di Pantai Timur Sumatera Selatan (lokasi pencarian harta karun oleh warga-sekarang) memiliki kemiripan dengan peninggalan di Oc Eo, pelabuhan tua di Vietnam Selatan yang sudah berdiri sejak awal Kerajaan Funan.
"Di awal abad pelabuhan itu sudah ada. Nah dia itu (Kerajaan Funan) keruntuhannya terus muncul Sriwijaya. Tapi, kemungkinan juga sudah ada hubungan, entah hubungan dagang atau apa, antara Pantai Timur Sumsel dengan dengan Funan di Oc Eo itu," lanjut Budi.
"Makanya kita tiga tahun terakhir ini intensif penelitian di daerah itu. Tapi selama kami penelitian itu, malah enggak pernah nemu misalnya emas-emas itu. Ya, paling papan perahu, tiang rumah, alat-alat rumah tangga dari gerabah, dari keramik," tambahnya.
Budi menyayangkan apabila temuan bersejarah seperti cincin, manik-manik, hingga lempengan emas dijual ke toko. Sebab, bagi para arkeolog temuan-temuan itu dapat menjadi mata rantai penyambung sejarah.
"Kalau mereka jual. Kita kehilangan data," katanya.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya empat provinsi (Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Bangka-Belitung) Iskandar Mulia Siregar mengaku segera memberangkatkan tim ke lokasi perburuan harta karun di OKI.
Iskandar mengatakan tim ini akan berkoordinasi dengan kepolisian, balai arkeologi, dan pemerintah daerah OKI.
"Kalau untuk itu perlu kajian. Secara Undang Undang pastikan itu cagar budaya atau bukan. Baru besok tim saya ke sana," kata Iskandar melalui sambungan telepon, Minggu (6/10/2019).
Baca: Warga Temukan Tiga Perahu yang Diduga Peninggalan Masa Kolonial Belanda di Dasar Bengawan Solo
Undang Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengartikan benda cagar budaya sebagai benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
"Biasanya dilaporkan dulu, biar diteliti, itu cagar budaya atau tidak. Kalau diputuskan cagar budaya juga boleh dimiliki masyarakat, secara UU seperti itu. Ada yang boleh, ada yang harus diambil Negara," tambah Iskandar.
Jika ditemukan "harta karun" sebagai cagar budaya maka pemerintah wajib memberikan kompensasi bagi penemunya. Balai Pelestarian Cagar Budaya memiliki anggaran Rp20 juta per tahun untuk menebus cagar budaya hasil temuan masyarakat.
"Sekitar Rp 20 juta per tahun untuk empat provinsi: Jambi, Sumsel, Bengkulu, Babel. Ada anggaran kita untuk memberi imbalan jasa," kata Iskandar.
Ia mengakui bahwa berdasarkan UU tentang Cagar Budaya, para pemburu harta karun yang masuk kategori cagar budaya bisa terkena ancaman pidana jika tak melaporkan temuannya. Namun, pihak berwenang mengedepankan pendekatan persuasif.
"Kalau semuanya (pakai ancaman pidana) kan repot juga," imbuhnya.
Baca: Warga Temukan Tiga Perahu yang Diduga Peninggalan Masa Kolonial Belanda di Dasar Bengawan Solo
Baca: Ini Komisi di DPR RI yang Diincar Partai Gerindra
Munculnya harta karun tersebut akhirnya membuat warga berbondong-bondong untuk melakukan penggalian secara ilegal, mencari barang berharga lainnya tertutama yang terbuat dari emas.
Hanya menggali dengan kedalaman sekitar 1 meter, warga sudah bisa menemukan perhiasan berupa cincin yang mengandung emas di lokasi tersebut.
Arkelog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan Retno Purwanti mengatakan, fenomena perburuan harta karun tersebut telah berlangsung sejak kurun waktu satu bulan terakhir.
Berbagai macam benda bersejarah yang selama ini terpendam di dalam lahan gambut muncul ke permukaan karena lokasi tersebut terbakar.
Lahan gambut pun menjadi tolok ukur peristiwa sejarah yang bisa dirangkai untuk mencari tahu jejak kerajaan Sriwijaya.
Semakin dalam gambut maka akan semakin lama pula nilai sejarah benda atau perhiasan yang ditemukan.
"Semua perhiasan yang ditemukan warga tersebut berada di dalam gambut. Artinya kemungkinan itu peninggalan dari Sriwijaya, tapi perlu penelitian. Tapi masalahnya, barang tersebut telah banyak dijual warga sehingga menyulitkan kita," kata Retno, Jumat (4/10/2019). Gambut di OKI telah berusia 3.000 tahun.
Dapat emas langsung jual
Salah satu pemburu harta karun, Ringgo mengatakan kebanyakan yang didapat warga biasanya emas dalam bentuk pasir atau butiran. "Ada juga manik-manik. Sama teman-teman di sana, dijuluki mata setan," katanya kepada BBC Indonesia, Ahad (06/10).
Ringgo menambahkan selain harta karun emas, warga juga menemukan benda-benda bersejarah lainnya. "Ada juga yang temu keramik-keramik. Guci. Kendi," lanjutnya.
Pencarian ini dilakukan di Kecamatan Cengal, Dusun Seradang. Tapi, kata Ringgo, ada temuan baru lagi di tempat lainnya.
"Bukan lagi di Desa Serdang. Ini lokasi baru sekitar satu minggu belakangan di Desa Pelimbangan. Ini penemuan baru, di lokasi PT Samora. Temuannya itu butiran," tambahnya.
Ringgo sudah sejak 2015 ikut berburu harta karun yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Tapi ia mengklaim belum pernah mendapatkan emas.
"Sudah puluhan kali. Tapi tak dapat-dapat. Istilahnya itu nasib-nasiban," katanya sambil tertawa.
Selama berburu harta karun, ia mengatakan di lokasi pencarian sudah ada pembeli emas yang membawa timbangan. Tiap gram emas yang didapat warga dihargai sekitar Rp500 ribu.
"Kadang-kadang toko emas itu belinya langsung ke lapangan. 'Jadi siapa yang dapat, ayo! Aku mau beli'," kata Ringgo sambil menirukan suara pembeli emas di lapangan.
Dalam kasus lainnya, Ringgo mengaku temannya mendapatkan sebuah cincin emas berukir ikan. Cincin tersebut sudah dijual sekitar Rp40 juta ke Palembang.
"Emas itu dijual ke Palembang, dilebur lagi," tambah Ringgo.
Padahal, dia sudah mengingatkan temannya agar menjualnya ke pihak pemerintah karena selain harganya lebih mahal juga bisa didata.
"Tolong jangan dijual, nanti saya datakan orang arkeolog atau BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya), biar mereka yang lebih mahal membeli. Tapi, ya, namanya nggak ada uang, pikirkan perut," kata Ringgo.
Saat ini lanjut Ringgo, kebanyakan yang didapat masyarakat selain emas adalah guci-guci keramik.
"Oy! Guci banyak. Oleh karena itu masih disimpan oleh warga, karena belum ada harga yang pantas untuk dijual, tapi kalau harganya mahal pasti dijual masyarakat semua itu. Tapi kalau satu guci mau dibeli Rp300-400 ribu belum tentu dijual. Karena mereka itu nyarinya banyak habiskan uang," katanya.