Dimana alkes dan obat tidak digunakan secara optimal dalam pengobatan pasien tapi tetap ditagihkan dalam klaim rumah sakit.
Ada pula pasien rawat inap yang diminta pulang lebih dulu kemudian bisa kembali lagi dirawat inap karena batasan lama rawat inap sudah kadaluarsa.
Termasuk pasien harus membeli obat di luar karena stok obat instalasi rumah sakit habis.
"Hal ini diduga sengaja terjadi karena rumah sakit tidak konsisten dan disiplin menjalankan Rencana Kebutuhan Obat," tegasnya.
Baca: Ratusan Siswa SMA Negeri 1 Waleri Keracunan Usai Makan Nasi Ayam Saat Kemah, Tidak Ada Korban Jiwa
Dewi melanjutkan beberapa faktor yang menyebabkan fraud terjadi diantaranya faktor pendataan yang tidak valid dan akurat bagi peserta JKN-PBI.
Pada tahun 2019, ICW kembali melakukan pemantauan potensi fraud dalam penyediaan obat di empat kota yaitu Banda Aceh, Medan, Banten dan Blitar.
Hasilnya ditemukan banyak kasus kekosongan obat dengan berbagai jenis obat.
"Out of pocket yang dikeluarkan pasien berkisar Rp 10-750 ribu. Penyebab kekosongan obat diantaranya lantaran lambatnya distribusi obat oleh perusahaan farmasi, penyusunan Rencana Kebutuhan Obat yang tidak sesuai dan adanya hutang fasilitas kesehatan. Potensi fraud telah terjadi sejak perencanaan, pengadaan hingga pengelolaan obat," ungkap Dewi.
Atas beragam potensi fraud dalam program JKN yang dikelola BPJS ini, ICW berkesimpulan pengawasan, transparansi, dan tata kelola program JKN bermasalah bahkan cenderung pasif.
"Perlu perbaikan regulasi dan program pengawasan sehingga potensi fraud dapat berkurang sebagai salah satu penyebab defisit yang dialami BPJS Kesehatan," katanya.