Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan Prakarsa melakukan kajian untuk menganalisis permasalahan defisit, alternatif pembiayaan, analisis biaya, hingga manfaat dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Hasilnya, permasalahan defisit keuangan yang mencapai Rp 32 triliun pada 2019 ini menandalan belum berhasilnya tata kelola JKN oleh BPJS Kesehatan.
"Dari waktu ke waktu persoalan yang dihadapi berulang, seperti siklus masalah dan bukannya mengecil tapi semakin membesar," kata perwakilan Perkumpulan Prakarsa, Eka Afrina dalam sebuah diskusi bertajuk : BPJS Salah Kelola, Pelayanan Publik Disandera, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (13/10/2019).
Baca: Pertemuan Probowo Subianto Dengan Surya Paloh Hasil Tiga Kesapakatan
Baca: ILR Sebut Jokowi Memiliki 5 Alasan Untuk Menerbitkan Perppu KPK
Baca: IHSG Diprediksi Menguat Senin Besok
Eka menilai pemerintah seharusnya memperhatikan optimalisasi revenue lainnya dan mencari sumber pembiayaan lain yang stabil serta berkelanjutan seperti relokasi APBN, amandemen UU Cukai, dan menambah barang cukai untuk menutup defisit.
"Industri yang merusak kesehatan harusnya tidak diberikan proteksi seperti penetapan cukai yang rencah. Jika earmaking cukai rokok untuk kesehatan dialokasikan sebesar 15 persen saja. Maka akan ada tambahan Rp 22 triliun untuk program kesehatan," kata Eka.
Baca: PKB Singgung Komposisi Kabinet Jelang Pelantikan Presiden
Status defisit keuangan BPJS Kesehatan, menurut Eka, harusnya menjadi refleksi BPJS dan pemerintah dalam melakukan keterbukaan pengelolaan keuangan dan pelayanan kesehatan.
Bukan malah membuat kebijakan yang memberatkan masyarakat.
Masyarakat kata Eka, perlu diberi tahu bahwa belanja kesehatan adalah belanja untuk kita semua.
"Masyarakat diharapkan tidak terjebak pada pemberitaan hoax dan persepsi pejabat publik juga masuk menjadi pekerjaan rumah kita semua," katanya.
Maladministrasi
Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih mengritik keras rencana pemerintah memberikan sanksi bagi para penunggak iuran BPJS Kesehatan.
Menurutnya, rencana pemberian saksi yang direalisasikan dalam bentuk penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) merupakan bentuk maladministrasi.
"Penerbitan Inpres terkait sanksi pelayanan publik lain adalah bentuk maladministrasi serius karena menghambat hak inkonstitusional," kata Alamsyah dalam sebuah diskusi bertajuk : BPJS Salah Kelola, Pelayanan Publik Disandera, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (13/10/2019).
Baca: ICW Temukan 49 Potensi Fraud Dalam Penggunaan Fasilitas BPJS Kesehatan