Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan satu-satunya jalan merevisi UU KPK.
Pengamat hukum Chrisman Damanik menyatakan, ada metode yang dapat dilakukan selain presiden menerbitkan Perppu KPK.
Misalnya, kata dia, mereka yang tidak sepakat dengan UU KPK hasil revisi, dapat menempuh judicial review ke Mahkamah Kontitusi (MK).
Hal lain yang bisa dilakukan, menurut dia, DPR periode 2019-2024 dapat meninjau ulang UU KPK versi revisi.
"JR saja ke MK. Apa yang sebenarnya tidak pas dari UU ini. (Legislatif Review,-red) Jadi DPR bisa mengkaji ulang," kata dia, di acara diskusi publik bertajuk "Membedah Subtansi Dan Urgensi Perppu KPK", Senin (14/10/2019).
Dia menilai, UU KPK hasil revisi merupakan iktiad baik dari DPR dan pemerintah. Namun, kata dia, upaya DPR dan pemerintah menguatkan KPK itu dianggap sebagai upaya mengkriminalisasi KPK.
Akibatnya, UU KPK versi revisi menuai polemik. Ada yang mendesak presiden menerbitkan Perppu.
Baca: Fadli Zon Disebut-sebut Masuk Bursa Calon Menteri di Kabinet Jokowi, Segini Daftar Kekayaannya
"Apakah Perppu itu akan otomatis menjadi UU? Perppu bisa dibuat karena hak subjektivitas presiden karena ada hal ikhwal keadaan yang mendesak. Itu penafsiran diserahkan kepada presiden," kata Chrisman.
Baca: Jokowi Dilantik 20 Oktober, Tapi Susunan Kabinet Jokowi-Maruf Sudah Bocor, Begini Reaksi Istana
Sementara itu, Sekjen Perkumpulan Gerakan Kebangsaan, Riyan Hidayat meminta semua pihak menganalisa peristiwa-peristiwa sosial sebelum melakukan aksi penyampaian pendapat.
"Kita harus cerdas membaca isu. Ada yang bilang demo ini ditunggangi, meskipun tidak ditunggangi tetapi ada yang mengatakan ada yang menunggangi. Kalau gerakan tidak dihitung secara matang maka ini akan menjadi persoalan ke depan," tambahnya.