TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan baru dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni menerbitkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3).
Hal tersebut diatur dalam UU KPK yang baru saja direvisi dan disahkan di Rapat Paripurna, Selasa (17/9/2019) lalu.
Hal tersebut diatur dalam UU KPK yang baru saja direvisi dan disahkan di Rapat Paripurna, Selasa (17/9/2019) lalu.
Baca: SBY Berpesan Agar MPR Tampung Aspirasi Masyarakat Terkait Wacana Amandemen UUD 1945
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1), KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Pengamat Hukum dari The Indonesian Center for Governance and Political Studies (Ind-CGPS), Muhammad Azrie menilai kewenangan SP3 yang dimiliki lembaga antirasuah bisa memberikan kepastian hukum kepada tersangka ataupun bagi KPK sendiri.
"Contohnya kasus John Manulangga dengan obyek penyelidikan dana PLS di NTT. Namun setelah KPK mengeluarkan Surat Perintah penyidikan ternyata John Manulangga ketika ditetapkan sebagai tersangka sudah meninggal dunia,” ujar Azrie dalam pernyataannya kepada Tribun, Rabu(16/10/2019).
Karena tidak ada kewenangan SP3, kondisi tersebut lanjut Azrie dapat mempersulit KPK dan juga tidak memberikan kepastian hukum bagi terdakwa.
Hal tersebut menurut Azrie terjadi karena ketidak hati-hatian ketika menentukan seseorang sebagai tersangka.
Sehingga daripada KPK harus terjebak aturan lebih baik disiapkan sistem untuk membuat koreksi terhadap proses penyidikan dapat dilakukan.
“Mekanisme SP3 malahan dapat memperkuat KPK daripada harus gagal di praperadilan. Beberapa kasus sebelumnya seperti kasus Harie Purnomo pada 2015, KPK kalah di praperadilan karena dianggap penetapan tersangka tidak sesuai dengan prosedur UU KPK. Juga pada kasus Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome, pada Mei 2016. Kalahnya di praperadilan oleh hakim menilai penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Marthen tidak sah dan melanggar Pasal 8 UU KPK,” ujar Azrie.
Kedua kasus tersebut menunjukkan titik lemah KPK ketika melakukan penyelidikan.
Alih-alih harus terbelenggu pada peraturan yang dibuatnya, mekanisme SP3 dapat menjadi salah satu alternatif untuk memberikan kepastian hukum bagi KPK ataupun bagi tersangka.
Tidak hanya soal kewenangan SP3, soal penyidik juga disorot.
Kualitas penyidik KPK kata Azrie merupakan ujung tombak kinerja KPK. Sehingga kualitas penyidik perlu menjadi pertimbangan utama.
Sayangnya, ada penyidik yang diangkat tanpa melalui tes seperti pada bulan Mei 2019.
“Ketika penyidik diangkat tanpa melalui tes seperti 21 orang yang diangkat pada bulan Mei yang lalu merupakan sebuah preseden yang buruk. Meskipun kemudian muncul klarifikasi bahwa penyidik yang diangkat sudah pernah memiliki pengalaman penyidik sebelumnya tetapi seharusnya mekanisme rekrutmen diatur sesuai dengan UU KPK. Sehingga ada standar kompetensi bagi para penyidik KPK,”ujar Azrie.
Rendahnya standar kompetensi membuat KPK nantinya tidak memiliki taring yang kuat dan berpotensi berpolitis.
Beberapa pemimpin daerah yang tertangkap tangan seringkali berpotensi mendapatkan tafsir miring KPK berpolitis.
Namun tudingan miring bisa diabaikan jika KPK mampu menyajikan bukti yang kuat.
“Kasus OTT Adriatma Dwi Putra (ADP) dan Asrun dengan tanpa barang bukti uang misalnya berpotensi ditafsir miring,” ujar Azrie.
Walaupun kemudian Wakil Ketua KPK saat itu menjelaskan bahwa OTT tidak harus selalu dalam bentuk fisik uang.
"Namun penjelasan tersebut nampaknya tidak mampu menjawab rasa ingin tahu publik karena kebiasaan OTT selalu ada barang bukti uang yang ditangkap,” ujar Azrie.
Lebih lanjut Azrie mengatakan berbagai permasalahan tersebut akan mampu dijawab oleh KPK apabila memiliki mekanisme prosedural yang kuat.
Salah satu strateginya adalah dengan UU KPK yang mengharuskan penyidik menjadi ASN.
Baca: KPK: OTT Memang Tidak Disukai Pejabat Korup
Hal ini nantinya menjadi salah satu mekanisme untuk menguatkan kompetensi penyidik KPK di masa datang.
“Mandat UU KPK revisi untuk memaksa penyidik harus ASN menjadi salah satu pintu masuk untuk memperkuat KPK terutama dari sisi kompetensi penyidik,” tutupnya.