Oleh karena itu, Dedi mengatakan, sangat penting pemerintah melalui tiga menteri itu (Mendagri, Menpan RB dan Menag) untuk menghapus aturan tentang pakaian yang bernuansa kolonial Belanda.
"Selain itu, seragam ASN saat ini juga semi-militeristik dan warisan Orde Baru, sehingga harus dihapus dan diganti dengan baju khas nusantara," tegas mantan bupati Purwakarta dua periode ini.
Baju nusantara
Dedi menyebutkan, pemerintah mestinya mendorong semua ASN dan pejabat negara untuk memakai pakaian dengan basis budaya nusantara.
Setiap pegawai negeri memakai pakaian yang disesuaikan dengan budaya dan iklim di masing-masing daerah. Begitu juga untuk anggota legsilatif, pakaiannya menyesuaikan dengan budaya di daerah pemilihan masing-masing.
"Sehingga akan tercipta keragaman budaya dan identitas budaya mereka tidak terhapus," kata Dedi.
Namun, kata Dedi, bukan berarti mereka menggunakan baju adat. Menurut Dedi, pakaian khas daerah bisa disesuaikan dengan mode atau fashion saat ini. Yang penting ada kepantasan.
"Karena dalam hal ini yang terpenting adalah pakaian ASN tidak seragam di semua daerah. Bisa disesuikan dengan budaya di masing-masing daerah tetapi tetap fashionable (model mengikuti zaman)," tandas Dedi.
Celana cingkrang
Selain itu, pakaian untuk ASN juga disesuaikan dengan jabatan mereka. Kalau untuk orang lapangan seperti penyuluh pertanian atau kehutanan, kata Dedi, cocoknya mengenakan pakaian cingkrang, mirip pangsi untuk baju pesilat.
Dengan modelnya yang longgar dan ujung celana di atas mata kaki, pakaian cingkrang ini membuat orang bebas bergerak. Ujung celana tidak akan mudah kotor karena posisinya lebih tinggi.
"Nah, sebenarnya celana cingkrang itu bukan budaya Arab, malah budaya Nusantara. Orang-orang Sunda yang pergi ke sawah biasa menggunakan celana cingkrang, warna hitam. Itu yang disebut pangsi," kata Dedi.
Sarung Ma'ruf Amin
Dedi menyebutkan salah satu pejabat yang masih mempertahankan budaya nusantara dalam hal berpakaian adalah Wakil Presiden Ma'ruf Amin.