TRIBUNNEWS.COM - Harapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi UU Pilkada oleh DPR terbentur dengan waktu Pilkada yang akan dilaksanakan September 2020 mendatang.
Sebelumnya KPU berharap DPR meninjau kembali terkait poin-poin penting mengenai larangan pencalonan mantan narapidana kasus korupsi hingga ASN yang tidak harus mundur saat mencalonkan diri dalam Pilkada.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menanggapi terkait Urgensi Revisi UU Pilkada tersebut.
Menurut Doli, jangka waktu yang diperlukan untuk merevisi UU Pilkada tergantung dari materi yang akan direvisi dan darimana datangnya inisiatif perubahan UU Pilkada.
"Kalau misal materi terlalu banyak dan kalau kita mau membuka (revisi UU Pilkada) sebenarnya tidak ada yang membatasi, materi apa saja yang harus kita lakukan," kata Doli dilansir dari YouTube KompasTV (7/11/2019).
Selain itu, ketika inisiatif revisi UU Pilkada datang dari DPR, dalam jangka waktu yang mepet revisi tersebut tidak dapat dilakukan.
Inisitaif revisi UU Pilkada seharusnya datang dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Doli mengatakan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah mengirim surat ke Mendagri terkait revisi UU Pilkada.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sangat memerlukan adanya revisi UU Pilkada, karena hal itu menyangkut posisi badan kepengawasannya.
"Ada beberapa steakholder yang sangat mendukung revisi ini (UU Pilkada) satu di antaranya adalah Bawaslu, Bawaslu sudah melakukan langkah-langkah dengan cara mengirimkan surat informasi ke Mendagri," ungkap Doli.
Tanggapan lain datang dari Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Terkait tidak diperbolehkannya pencalonan mantan narapidana kasus korupsi, Titi menambahkan, bukan hanya mantan narapidana kasus korupsi yang tidak boleh mencalonkan diri dalam Pilkada.
Namun, mantan narapidana dengan ancaman pidana hukuman lebih dari lima tahun, kasus terorisme, pemerkosaan, pembunuhan, bandar narkoba, juga tidak boleh ikut Pilkada.
"Ketika ini (larangan narapidan ikut Pilkada) digulirkan oleh KPU di Pemilu Legislatif akan ada diskursus yang sangat luar biasa," kata Titi.
Menurut keterangannya, pembatasan hak ikut Pilkada hanya dapat dilakukan pada level UU atau melalui putusan Mahkamah Konstitusi atau putusan pengadilan.
Sementara itu, aturan dalam Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa mantan terpidana boleh maju dalam Pilkada sepanjang ia terbuka mengatakan bahwa dirinya adalah mantan terpidana.
Johan Budi Dukung Usulan KPU Larang Kepala Daerah Mantan Narapidana Koruptor
Anggota Komisi II DPR RI, Johan Budi mendukung usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) lewat revisi peraturan KPU (PKPU) nomor 3 tahun 2017 tentang larangan kepala daerah dari mantan narapidana koruptor.
Hal tersebut ia sampaikan kepada para pewarta usai rapat Komisi II dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di kompleks Parlemen, Rabu (6/11/2017).
"Kemarin baru saja berbicara soal revisi dari PKPU nomor 3 tahun 2017. Kalau menurut saya pribadi sebaiknya calon Bupati, Gubernur, Walikota atau calon pemimpin itu jangan mantan narapidana korupsi," ujarnya.
Menurut mantan pelaksana tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut orang yang sudah diberi kesempatan memimpin lalu melakukan korupsi dinilai memiliki cacat moral, sehingga tidak layak untuk kembali menjadi pemimpin.
"Untuk masuk disebuah perusahaan saja perlu berbagai macam syarat dan keterangan, apalagi untuk seorang pemimpin. Jadi harus benar-benar yang bersih," lanjutnya.
Selain itu, Johan berujar peraturan tersebut dapat menciptakan efek jera bagi pemimpin kepala daerah yang ingin melakukan korupsi.
"Revisi PKPU itu dapat menciptakan efek jera sehingga mereka takut. Kalau misalnya korupsi tidak bisa dicalonkan lagi," lanjutnya.
Mantan staf Kepresidenan itu berujar tidak dimungkinkan lagi untuk melakukan revisi, mengingat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan di lakukan di tahun 2020.
"Kalau sekarang tidak mungkin ada revisi undang-undang, karena Pilkada serentaknya itu tahun 2020. Tapi yang kita bahas kemarin PKPU nya itu. Kita belum tau jawaban dari KPU," ujarnya.
(Tribunnews.com/Rica Agustina/Larasati Dyah Utami)