TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mendukung usulan
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mengevaluasi sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
Menurut dia, tujuan penyelenggaraan pilkada serentak tersebut tidak seperti apa yang diharapkan pada awalnya.
"Pilkada itu esensinya adalah rakyat memegang kedaulatan tertinggi, demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun dalam perspektif ini ketika demokrasi akhirnya dikuasai mereka-mereka memegang kapital," kata Hasto saat diwawancarai di acara Peringatan 60 tahun kunjungan Presiden Ho Chi Minh ke Indonesia dan kunjungan Presiden Soekarno ke Vietnam di Gedung Arsip Nasional, Jakarta Barat, pada Jumat (8/11/2019) pagi.
Baca: Sekjen PDIP: Megawati Akan Datang ke Kongres Partai Nasdem
Untuk itu, kata dia, semua pihak harus melihat substansi dari demokrasi langsung yang telah dilaksanakan selama lebih dari 20 tahun ini.
"Evaluasi diperlukan karena ketika bangsa dibangun dengan dasar-dasar Indonesia merdeka kita sudah menyepakati demokrasi Pancasila untuk kita wujudkan. Kami menyambut positif gagasan dari bapak Tito, mendagri untuk melakukan evaluasi sistem pemilu," ujarnya.
Baca: Pimpinan MPR Minta Parpol Respon Usulan Mendagri Evaluasi Pilkada Langsung
Sejauh ini, dia menilai, ada daerah sudah siap untuk menyelenggarakan demokrasi secara langsung. Namun, kata dia, ada daerah yang belum siap.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mempertanyakan apakah Pilkada langsung masih relevan saat ini.
Hal itu dikatakan Tito saat ditanya persiapan Pilkada oleh wartawan, usai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (6/11/2019).
"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem poltik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," kata Tito.
Sebagai mantan Kapolri ia tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi. Hal itu karena besarnya ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon, karena sistem pilkada langsung.
"Banyak manfaatnya yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau nggak punya 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," katanya.
Tito berpandangan bahwa mudarat Pilkada langsung tidak bisa dikesampingkan. Oleh karena itu, ia menganjurkan adanya riset atau kajian dampak atau manfaat dari Pilkada langung.
"Laksanakan riset akademik. Riset akademik tentang dampak negatif dan positif pemilihan Pilkada langsung. Kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaiamana mengurangi dampak negatifnya? Politik biaya tinggi, bayangin," kata Tito.
Baca: Kata PDIP soal Manuver NasDem: Mereka Sudah Ambil Ancang-ancang untuk Pilpres 2024
Tito tidak menjawab saat ditanya apakah kajian tersebut nantinya akan mengarah pada wacana Pilkada tidak langsung atau dipilih melalui DPRD. Yang pasti menurutnya saat ini perlu perbaikan dari sistem Pilkada langsung agar tidak terlalu banyak menimbulkan dampak negatif.
"Bagaimana solusi mengurangi dampak negatifnya, supaya engga terjadi korupsi biar tidak terjadi OTT lagi," pungkasnya.