Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Meutya Viada Hafid, dikenal masyarakat Indonesia sebagai jurnalis yang pernah ditawan di Irak tahun 2005 silam.
Siapa sangka 14 tahun kemudian, perempuan kelahiran Bandung tersebut telah dipilih untuk menjadi Ketua Komisi I DPR RI.
Bagaimana lika-liku kisah perjalanan hidup Meutya dari ditawan oleh kelompok bersenjata di Irak hingga beralih menjadi seorang politikus?
Baca: Doli Kurnia Sebut Kemungkinan Pemilihan Ketum Golkar akan Aklamasi
Berikut wawancara ekslusif dengan Meutya, Rabu (13/11/2019).
Anda pernah menjadi jurnalis. Bagaimana awal mula terjun dalam dunia jurnalistik? Apakah ada yang mengarahkan atau memang cita-cita dari kecil?
Nggak pernah ada cita-cita jadi jurnalis. Karena background ilmu saya kan ilmu pasti ya, sebagai insinyur sebetulnya. Namun ketika saya lulus itu Desember tahun 2000, kita tahu 1998 ada proses reformasi yang terjadi kemudian pergantian pemimpin.
Waktu itu saya kuliah di Australia, melihat dari jauh apa yang terjadi di Indonesia itu kita agak syok, dan kemudian gemas karena tidak bisa berbuat banyak.
Teman mahasiswa di Jakarta bisa ikut demo, (di sini) ada sih demo tapi nggak besar, ya bedalah yang dirasakan dengan teman-teman hang punya kesempatan demo di Jakarta.
Jadi gemas gitu ingin melakukan sesuatu apa ya, pengen ikutan dalam reformasi ini apa ya.
Baca: Doli Kurnia Sebut Kemungkinan Pemilihan Ketum Golkar akan Aklamasi
Nah ada satu profesi yang menerima dari jurusan apapun, walaupun saya nggak punya background jurnalistik ternyata mereka menerima juga insinyur.
Dan waktu itu ada televisi berita pertama di Indonesia, Metro TV, yang membuka lowongan. Kebetulan ada teman yang sudah masuk duluan, saya daftar dan kemudian jadi salah satu (jurnalis) yang paling awal di sana.
Cerita Mbak Meutya, saat mendapatkan penugasan ke Irak?
Saya baru pulang liputan tsunami (Aceh) Desember 2004, liputan saya dianggap bagus dan saya diberi hadiah. Hadiahnya adalah tugas ke luar negeri.
Tapi ternyata tugasnya ke Irak, jadi waktu itu agak kaget. Tapi memang bagi saya hadiah itu apresiasi dan senang waktu dikirim, (saya) masih muda sekali waktu itu.
Memang takutnya masih sedikit, hampir nggak punya rasa takut. Berangkat pun tanpa banyak persiapan karena kita mengejar waktu, Irak ketika itu mau pemilu pertama setelah Saddam Husein terguling.
Memang situasinya saat itu karena Amerika menginvasi di 2003 sampai 2005, masih ada pendudukan dan muncul perlawanan dari kelompok-kelompok di Irak.
Baca: Meutya Hafid: Golkar Dorong Munas Capai Musyawarah Mufakat
Jadi memang sangat chaotic, nuansa perang yang lebih mengerikan dari masuknya Amerika ke Irak. Karena kita nggak tahu kapan bom akan terjadi, perang terjadi di mana, tiba-tiba bisa ada bom, atau ada penyerangan di pinggir jalan.
Anda kemudian ditawan oleh sekelompok pria bersenjata? Saat itu sedang berada dimana?
Akhirnya (saya) berangkat untuk meliput pemilu pertama di Irak dan 10 hari di sana mungkin nggak banyak yang ingat saya sempat melaporkan langsung.
Tapi yang diingat banyak (orang) adalah yang waktu disanderanya.
Baca: Kata Pendukung Airlangga Soal Hastag #GolkarButuhBamsoet
(saya) Berencana pulang waktu itu melalui kota Amman, Yordania. Sampai di Yordania ditelepon untuk diminta meliput hari Asyura, jadi masuk kembali ke Irak.
Ketika dalam perjalanan darat dari Amman menuju Baghdad, di tengah jalan kita berhenti di pom bensin.
Tepatnya di antara kota Ramadi dan Falujah. Kita di situ diambil dan dibawa. Mata saya ditutup, senjata (ditodongkan) di leher, kemudian mobil kita diambil alih.
Saya mencoba mengingat (jalan), belok kiri, belok kanan, tapi setelah dua jam saya nggak tahu dibawa kemana.
Ketika dibuka penutup mata yang saya lihat hanya gurun. Dan ketika itu saya tahu, "Oh ini saya diculik." Awalnya kan sempat nggak tahu maunya mereka apa ya, mau mengambil barang-barang kita atau lainnya.
Tapi ketika di gurun, saya langsung berpikir kita diculik. Jadi harapan saya ketika itu masih ada ruang negosiasi nih.
Negosiasi yang Anda lakukan
Mulailah saya bicara bahwa kami dari Indonesia. Indonesia itu negara yang sangat menjunjung dan menghormati Irak. Kami menentang masuknya Amerika ke Irak.
Bahkan mahasiswa-mahasiswa kami banyak yang mendukung Anda gitu. Anda itu artinya rakyat Irak. Nggak mempan juga sih.
Tapi setidaknya saya merasa diperlakukan lebih baik daripada sandera yang lain.
Karena saya dulu kan sebagai penyiar, jurnalis, juga sering melaporkan wartawan-wartawan yang disandera. Saya lihat ketika ada yang divideoin, ditayangkan di televisi (wartawan yang disandera) posisinya merunduk di bawah.
Nah waktu itu kan posisi saya berdiri, tegak. Tetap ada senjata di kiri, kanan, tapi paling tidak sedikit lebih manusiawi, diberi makan. Jadi kalau mau dibilang dalam kondisi penyanderaan ya saya rasa itu sudah cukup baik.
Tentu ketika disandera ada didorong dengan senjata, dipaksa, dan lain-lain. Tapi setelah itu saya cuma bersyukur bahwa saya bisa kembali selamat ke Indonesia dan bisa tetap bekerja sampai sekarang.
Apa yang terlintas dalam benak Anda saat diculik
Pikiran pertama sih mati ya. Ingat almarhum ayah. Jangan-jangan dipanggil nih sama ayah suruh nyusul. Kaki rasanya nggak menginjak tanah.
Ya pertama mereka besar-besar secara postur tubuh dan berbeda jauh, saya tidak terlalu besar.
Mereka punya senjata laras panjang, membawa kita ke gurun, yang kalau kita nggak punya senjata kita juga nggak bisa lari. Karena kita juga nggak tahu, melawan juga nggak bisa.
Baca: Cerita Meutya Hafid Saat Disandera di Irak: Sempat Terpikir Mati dan Ingat Almarhum Ayah
Waktu itu mikirnya sudahlah, ikhlas. Ikhlas karena nggak bisa melawan, bukan karena soleha juga. Mau gimana lagi jadi ikhlas saja.
Tapi ikhlas itu datang saya justru jadi lebih tenang. Ketika saya tenang baru mulai jalan tuh pikirannya, ini bisa negosiasi kali ya.
Negosiasi terus berlanjut
Kamu (pria dalam kelompok bersenjata yang menculik Meutya) lihat tsunami nggak? Kebetulan saya lihat tsunami. Kamu kalau lihat tsunami nggak kasihan? Kamu mau minta apa? Kamu mau minta tebusan?
Kalau minta tebusan kita nggak mungkin bayar, kita baru kehilangan ratusan ribu warga kita dari Aceh.
Kebetulan kasus tsunami itu ramai dimana-mana, termasuk di Irak. Mereka juga prihatin. Jadi itu mengetuk satu kali hati mereka.
Yang lain-lainnya bergulir ya, jadi saya banyak tanya tentang keluarga mereka. Ya namanya wartawan ya pandai bertanya. Jadi sekalian memang ingin tahu kenapa mereka melakukan hal seperti itu.
Mereka anak-anak muda. Itu yang saya heran kenapa melakukan seperti ini. Ternyata mereka merasa dijajah, keluarga mereka banyak yang mati oleh serangan dari pihak AS dan lain-lain. Jadi mereka menyampaikan bahwa mereka ini melawan.
Tapi saya sampaikan Indonesia ini kan tidak pernah perang melawan Irak, di situ juga mereka mengingatlah itu.
Baca: Meutya Hafid Sosok Politikus Perempuan yang Manja Ketika di Rumah
Saya sebut almarhum Gus Dur. Akhirnya mereka sadar ada kedekatan dengan orang Indonesia.
Kemudian pelan-pelan agak berubah. Dari yang awalnya disandera di dalam gua, dimana senjatanya terus menerus ditodong atau dipegang dalam posisi siaga mulai diletakkan di sudut gua.
Jadi kok saya melihat mereka juga manusia ya, jadi ada rasa kemanusiaan.
Saya nggak bisa bilang itu rasa kemanusiaan apa nggak karena mereka kan sudah menculik, tapi paling tidak mungkin mereka ada sedikit perasaan kasihan ke kita juga.
Saya sempat mikir kameramen yang sama saya tuh istrinya sedang hamil, punya anak. Dia memang kelihatan sekali beban memikirkan keluarga.
Saya waktu itu belum menikah masih muda, kalau ada apa-apa ya udah lah ya. Mungkin nggak terlalu diambil pusing.
Kita nggak tahu apa yang terjadi di Indonesia karena alat komunikasi kami diambil. Jadi kami tak tahu apakah kantor kami tahu kami hilang, apakah negara tahu.
Jadi ketika dibebaskan dan tahu begitu banyak orang mendoakan kan itu bagi kami luar biasa terharu. Oh ternyata ada banyak sekali yang mendoakan dan peduli.
Pelajaran berharga bagi Anda
Pasti saya merasa bersyukur karena selamat dan merasa mendapat sesuatu yang berharga karena sebagian besar pertemuan dengan kelompok Mujahidin berakhir dengan selamat.
Rata-rata dibunuh. Terutama wartawan, banyak yang disandera kemudian dibunuh. Jadi sebagai jurnalis, ini pengalaman yang sangat berharga berinteraksi langsung dengan mereka.
Kemudian sebagai manusia, saya juga belajar bahwa dulu kan masih muda mikirnya karir, karir, karir.
Baca: Pesan Khusus Soeharto ke Dubes di Malaysia Saat Golkar Kalah, Sampai Disuruh Tak Bercelana Panjang
Berangkat ke Irak juga pikirannya mau meliput daerah konflik yang bagi kita para jurnalis ingin kesana untuk meliput.
Tapi sampai sana ternyata semua yang kita pupuk, yang kita persiapkan seperti bekal hidup kita bisa diambil begitu saja.
Kita biasa nabung untuk beli kasur yang enak, ternyata tidur di pasir waktu di gurun ternyata bisa tidur juga.
Ternyata sebagai manusia, kita ternyata bisa bertahan dalam kondisi apapun.
Apa ada yang mengajak untuk terjun ke dunia politik?
Ada yang ngajak sih ya. Terima kasih kepada Undang-Undang politik yang dulu, kalau sekarang kan kita dengar keterwakilan perempuan 30 persen itu biasa, pada awalnya itu belum biasa.
Dan partai politik itu mencari calon-calon perempuan.
Syukur alhamdulillah, bak gayung bersambut lah ya, saya juga memang kalau masuk akan memilih partai Golkar dan kebetulan yang mengajak memang Partai Golkar.
Waktu itu Ketua Umum-nya Pak Jusuf Kalla (JK), Dewan Pembina Pak Surya Paloh. Pak JK sih yang kalau dibilang membujuk juga nggak, tapi beliau cuma menyampaikan bahwa di politik itu harus ada perempuan, harus ada anak muda. Waktu itu usia saya 29 tahun.
Sekarang mungkin banyak anak muda, tapi waktu itu masih sepi sekali dari anak muda. Jadi saya pikir tantangan yang luar biasa sekali tapi juga amanah gitu.
Partai Golkar, partai kedua terbesar, yang meminta dengan cara-cara yang sangat proper ya, Ketum-nya juga bicara langsung, saya juga dikasih lampu hijau oleh Pak Surya Paloh, karena saya bekerja di Metro TV ketika itu. Jadi akhirnya saya masuk ke partai Golkar.
Respon keluarga saat Anda memutuskan ke dunia politik?
Saya paling dekat sama ibu ya. Waktu ke Irak itu juga ibu saya yang menguatkan. Saya pamit terus langsung berangkat. Siang ditugaskan, malam langsung berangkat ke Irak. Ibu bilang mendoakan saja.
Sama waktu (saya) masuk politik, itu dia heran tapi dia bilang mau doakan saja yang terbaik. Udah itu saja, menurut saya itu jadi kekuatan bagi saya.
Tentu ke kawan-kawan saya minta pendapat, tapi yang paling utama itu ketika ibu saya bilang ya pokoknya yang terbaik lah, mudah-mudahan dimanapun kamu pilih silahkan, tapi baik-baik dan coba jadi yang terbaik.
Perbedaan Meutya Hafid sebagai seorang politikus dan ketika menjadi seorang istri atau perempuan di rumah?
(Tertawa dahulu) Saya sih nggak merasa berbeda. Tapi orang bilang saya di kantor dan di rumah beda sekali.
Kalau di kantor kan harus lebih serius dan yang paling utama harus tough, because politic is not an easy area. Jadi harus tough. Kalau di rumah ya manja, ya kayak anak kecil. Balik manja lah. Lebih ke itu.
Ya ini menurut orang ya, yang lihat saya di kantor dan di rumah. Jadi (saya) nggak harus menyesuaikan (menjadi seperti apa ketika di rumah), tapi menyesuaikan dengan sendirinya.
Rencana hidup atau karir lima tahun ke depan?
Nah itu dari dulu tuh, saya memang nggak harus nargetin gitu. Karena saya juga nggak tahu perjalanan hidup membawa saya jadi jurnalis dan politikus.
Bahkan kemarin saya sudah sempat menyatakan tidak akan melanjutkan di DPR, tidak maju, tidak mengumpulkan berkas ke KPU.
Tapi di masa perbaikan diminta oleh partai untuk tetap maju oleh pak Airlangga, jadi saya maju kembali.
Jadi saya nggak pernah terlalu planning nanti harus apa, harus apa. Yang penting kita harus berkarya dan bermanfaat.
Sempat terpikir bikin sekolah politik dan sudah sebetulnya. Hanya sekarang jadi harus berkonsentrasi ke dua hal, DPR dan melanjutkan pendidikan politik saya.
Karena impian saya ke depan, akan lebih banyak lagi anak muda yang masuk ke politik.Mempersiapkan dirinya untuk masuk politik. Jadi pendidikan politik itu penting.
Kalau kita mau menjadi fotografer, kameramen, make up artist itu kan ada kursusnya.
Politik kan nggak semua orang berangkat dari jurusan S1 politik seperti saya, akhirnya saya kursus S2 mengambil ilmu politik, tapi kan nggak setiap orang punya cukup waktu dua tahun untuk mempelajari.
Nah harus ada short course pendidikan-pendidikan politik yang masif yang mengajarkan anak-anak muda kita partisipasi politik.
Kemudian bagaimana masuk menjadi politisi yang baik itu seperti apa.
Baca: Aksi Bom Bunuh Diri, Bukti Program Deradikalisasi Harus Tetap Ada
Esensi politik itu apa, itu kan tidak banyak diajarkan. Ya kalau masuk ilmu politik diajarkan, tapi yang nggak kan jadi nggak tahu dasar-dasar ilmu politik.
Itu impian saya ke depan supaya banyak anak muda masuk ke politik, tapi tidak hanya kalangan mudanya tapi mereka juga mempersiapkan dirinya dengan pendidikan politik yang kuat untuk mewarnai perpolitikan Indonesia.
Siapa sosok mentor atau pahlawan bagi Meutya?
Nggak hanya satu ya. Karena mentornya banyak dan dekat dengan semua. Yang pertama, di politik harus menghormati senior karena jam terbang itu mempengaruhi.
Saya itu masuk politik walaupun orang mengenal Meutya Hafid cukup besar, tapi ketika masuk politik saya sadar saya harus mulai dari nol.
Baca: Sosok Meutya Hafid, Terus Dicecar saat Pimpin Rapat Komisi I, Puji Menhan Prabowo Bawa Harapan Baru
Meskipun dulu saya sering wawancara politisi, Presiden, wapres, tapi masuk politik you start from zero.
Karena memang dunianya berbeda, anda harus punya pendekatan dan keahlian yang berbeda. Maka berbaik-baik sama senior jadi satu kuncinya, mendengarkan masukan para senior.
Tentu nggak bisa dinafiqkan karena saya masuk di era Pak JK, melihat sepak terjang Pak Surya Paloh, kemudian ketua partai Golkar yang sempat saya ikuti dari Pak Abu Rizal Bakrie, pak Airlangga, itu semua mentor bagi saya.