Bahkan, atas sikap Desi yang berulang kali mangkir dari pemeriksaan tim penyidik tersebut, KPK telah berkirim surat kepada Menteri BUMN Erick Thohir.
Dalam surat itu, KPK meminta Erick Thohir dan jajaran Kementerian BUMN memerintahkan seluruh pejabat di Kementerian BUMN dan petinggi perusahaan BUMN, termasuk Desi Arryani untuk koperatif terhadap proses hukum yang dilakukan KPK dengan memenuhi panggilan penyidik.
Sebelumnya, Febri mengatakan, sebagai pejabat publik, Desi seharusnya memberikan contoh yang baik dengan menghormati dan koperatif terhadap proses hukum yang berjalan. Apalagi, Kementerian BUMN saat ini sedang gencar melakukan pembenahan dan mendukung upaya pemberantasan korupsi.
"Sebagai pejabat publik, apalagi di tengah upaya Kementerian BUMN berbenah, jangan sampai memberikan contoh tidak baik," kata Febri.
Dalam pemeriksaan nanti, tim penyidik diduga bakal mendalami peran Desi selaku salah satu kepala divisi di Waskita Karya ketika itu.
Termasuk mengenai pengetahuan Desi soal pekerjaan-pekerjaan fiktif dalam 14 proyek yang digarap Waskita Karya. Selain itu, pemeriksaan terhadap Desi juga diduga dilakukan penyidik untuk mendalami sejumlah dokumen penting terkait kasus dugaan korupsi pekerjaan fiktif dalam 14 proyek yang digarap Waskita Karya.
Dokumen-dokumen tersebut disita tim penyidik saat menggeledah rumah Desi pada 11 Februari 2019 lalu. Selain rumah Desi, tim penyidik saat itu juga menggeledah dua rumah yang berada di kawasan Makasar, Jakarta Timur milik pensiunan PNS Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR).
Dalam kasus ini, Fathor dan mantan Kabag Keuangan dan Risiko Divisi II PT Waskita Karya Yuly Ariandi Siregar diduga menunjuk sejumlah perusahaan subkontraktor untuk melakukan pekerjaan fiktif pada 14 proyek yang dikerjakan oleh PT Waskita Karya. Proyek-proyek tersebut tersebar di Sumatera Utara, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Bali, Kalimantan Timur, hingga Papua.
Proyek-proyek tersebut sebenarnya telah dikerjakan oleh perusahaan lainnya, namun tetap dibuat seolah-olah akan dikerjakan oleh empat perusahaan yang teridentifikasi sampai saat ini. Diduga empat perusahaan tersebut tidak melakukan pekerjaan sebagaimana yang tertuang dalam kontrak.
Atas subkontrak pekerjaan fiktif ini, PT Waskita Karya selanjutnya melakukan pembayaran kepada perusahaan subkontraktor tersebut.
Setelah menerima pembayaran, perusahaan-perusahaan subkontraktor itu menyerahkan kembali uang pembayaran dari PT Waskita Karya tersebut kepada sejumlah pihak, termasuk yang diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Fathor dan Ariandi. Atas tindak pidana ini, keuangan negara ditaksir menderita kerugian hingga Rp186 miliar.
Perhitungan tersebut merupakan jumlah pembayaran dari PT Waskita Karya kepada perusahaan-perusahaan subkontraktor pekerjaan fiktif tersebut.