TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menilai keputusan menaikkan premi BPJS Kesehatan adalah keputusan kontroversial.
Fadli Zon memandang kenaikan iuran BPJS tidak tepat saat kondisi masyarakat saat ini dinilai Fadli Zon sedang tidak baik.
Hal tersebut diungkapkan Fadli Zon dalam program Mata Najwa Trans 7, Rabu (20/11/2019) malam.
Melansir video yang diunggah kanal YouTube Najwa Shihab, Fadli Zon sebelumnya mengungkapkan beberapa kebijakan kontroversial yang diputuskan pemerintahan Presiden Jokowi.
Selain kenaikan iuran BPJS, kebijakan yang dianggap kontroversial menurut Fadli Zon adalah rencana pemindahan ibu kota, serta isu radikalisme.
Fadli Zon menilai kenaikan BPJS terjadi saat masyarakat keadaannya semakin susah.
"Di tengah rakyat makin susah kok iuran BPJS yang harusnya melayani dan merupakan hak masyarakat dinaikkan," ucapnya.
Selain itu Fadli Zon juga menyoroti buruknya pelayanan BPJS Kesehatan.
Pernyataan Fadli Zon sontak mendapat sanggahan dari juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman.
Fadjroel mengungkapkan pemerintah telah memperjuangkan jaminan kesehatan bagi masyarakat.
"Ada 96 juta orang yang mendapatkan gratis, Rp 40 triliun. Kalau kita tambah lagi dari pemda, ada 133 juta orang," ucapnya.
Dirinya menyebut Jokowi dan pemerintah telah berusaha keras untuk hal tersebut.
"Jadi pemerintah ini mati-matian, Presiden Jokowi mati-matian untuk menjamin kesehatan," ucapnya.
Sementara itu Ketua DPP Nasdem Irma Suryani memberikan tanggapan atas pendapat Fadli Zon yang sebelumnya menyebut pelayanan BPJS buruk.
"Kalau pelayanan BPJS belum maksimal, itu betul. Bahwa BPJS terbaik di dunia ya di Indonesia ini. Kalau belum sempurna, betul, itu yang kita sempurnakan," ucapnya.
Kenaikan BPJS
Mengutip Kompas.com, sebelumnya pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif BPJS Kesehatan.
Kenaikan 100 persen iuran BPJS Kesehatan akan dimulai pada 1 Januari 2020.
Pengumuman kenaikan itu resmi diberlakukan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Nantinya, iuran peserta PBPU dan Bukan Pekerja (BP) BPJS akan naik 100 persen.
Kenaikannya sebagai berikut :
Kelas I : Dari Rp 81.000 menjadi Rp 160.000
Kelas II : Dari Rp 52.000 menjadi Rp 110.000
Kelas III : Dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000
Untuk meringankan biaya, pemerintah menyarankan masyarakat untuk pindah atau menurunkan kelas layanan BPJS yang lebih murah.
Kebijakan Kontroversial
Sementara itu selain mengkritisi kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Fadli Zon juga menilai rencana pemindahan ibu kota negara dan eksploitasi isu radikalisme dan terorisme.
"Rencana pemindahan ibu kota. Dengan berbagai macam situasi yang ada, kelemahan-kelemahan keuangan, apalagi target yang ditetapkan Pak Jokowi sampai tahun 2024, kalau targetnya 15 tahun saya kira masuk akal. Kalau 2024 saya kira agak berat," ungkapnya.
Sementara itu eksploitasi isu radikalisme juga dianggap hal yang kontroversial dalam kepemimpinan Presiden Jokowi, terutama di periode pertama.
"Seolah orang-orang Indonesia radikal dan terorisme, menurut saya orang kita moderat kok," ujarnya
Menurutnya, hal ini bertentangan dengan cita-cita pemerintah untuk menarik investasi.
"Saya katakan kita ingin investasi masuk, tapi orang ditakut-takuti dengan isu radikalisme dan terorisme," ucapnya.
Peran Legislatif
Sebelumnya, Fadli Zon juga mengungkapkan peran legislatif harus tetap dilaksanakan.
Meski antara partai yang berada di dalam pemerintahan lebih banyak dibandingkan partai yang berada di luar pemerintahan, fungsi legislatif harus tetap berjalan.
Fadli Zon menyebut harus tetap ada yang memperingatkan pemerintah.
Meski diketahui, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet Jokowi.
"Ya saya pikir harus ada yang tetap memperingatkan pemerintah, harus berbeda peran eksekutif dengan peran legislatif,” ucapnya.
Fadli Zon mengungkapkan, harus menjalankan peran masing-masing dalam berjalannya pemerintahan.
“Peran eksekutif dan legislatif berbeda. Siapa pun yang berada di eksekutif ya di eskskutif. Sedangkan tupoksi legislatif berbeda, termasuk pengawasan dan kritik,” ucapnya.
(TRIBUNNEWS.COM/Wahyu Gilang Putranto) (Kompas.com/Audia Natasha Putri)