Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua PPP versi Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat, menilai sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung banyak melahirkan sosok pemimpin yang memiliki kredibilitas dan integritas.
Sistem Pilkada langsung mendapatkan kritikan karena berbiaya tinggi.
Humphrey Djemat justru menilai Pilkada langsung dapat memunculkan sosok pemimpin seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.
"Kebanyakan orang memang lebih melihat high cost-nya. Tapi kalau diperhatikan banyak juga Pilkada langung ini memunculkan figur-figur kepala daerah dengan kredibilitas tinggi seorang Ahok, Presiden Jokowi, Bu Risma, Ridwan Kamil tidak akan muncul kalau tidak ada Pilkada langsung," ujar Humphrey Djemat di kawasan Matraman, Jakarta, Minggu (24/11/2019).
Baca: Direktur Riset Setara Institute: Kasus Sukmawati Tidak Ada Hubungannya Dengan Penistaan Agama
Menurut Humphrey Djemat suatu kemunduran jika Pilkada kembali menggunakan sistem tidak langsung.
Menurutnya politik uang akan semakin merebak dengan sistem Pilkada tidak langsung.
"Jadi kalau sudah dicoba, sekarang kemudian di lakukan dengan cara Pilkada langsung, mau kembali lagi, ya namanya makai barang busuk lagi sebenernya. Malah bisa lebih parah lagi sebenernya untuk itu," kata Humphrey Djemat.
Baca: Karding: Penunjukan Ahok Jadi Komut Pertamina Tak Lepas dari Keberhasilannya Saat Pimpin Jakarta
Ia menilai tingginya biaya politik justru disebabkan partai politik.
Menurut Humphrey Djemat, mahar politik yang diminta partai membuat calon kepala daerah membutuhkan banyak dana.
Humphrey juga menilai ada kelemahan dari aspek penegakan hukum.
Menurutnya butuh pembenahan dalam aspek penegakan hukum terkait penyelenggaraan Pilkada langsung.
Baca: Penerbitan Sertifikat Tanah hingga November Capai 8,5 Juta, Begini Unggahan Jokowi
"Semuanya itu kan muncul dari partai politik, partai politik itu kan kalau mengenai soal katakanlah mahar transaksional itu sudah jadi rahasia umum, bahkan kemungkinan lebih besar maharnya dari pada kepentingan calon tersebut dalam mendekati masyarakat melibatkan dry cost yang harus di keluarkan," ungkap Humphrey.
"Terutama kelemahan di Indonesia ini kan di law enforcement ya, lemahnya di situ sehingga ini bisa katakanlah ya tidak sesuatu yang memang kelihatan pembenahan dari suatu sistem karena itu akan terjadi berulang-ulang," ujar Humphrey.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, salah satu alasan dirinya mengusulkan evaluasi pilkada secara langsung adalah karena biaya politik yang tinggi.
Baca: Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia: Besaran Gaji Itu Relatif
Tito menjelaskan, biaya politik mahal itu mulai dari dana yang dikeluarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bahkan, kata dia, calon kepala daerah juga mengeluarkan biaya tinggi.
Tito mengatakan, tidak ada yang gratis dalam pilkada langsung. Ia mencontohkan, seorang calon bupati bisa mengeluarkan biaya sebesar Rp 30 miliar untuk ikut pilkada.
"Untuk jadi bupati kalau enggak punya Rp 30 miliar, enggak berani," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Kata mantan komisioner KPU
Mantan Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, mengaku tidak setuju dengan wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung atau dipilih DPRD.
Wacana perubahan sistem Pilkada dihembuskan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.
Menurut mantan Kapolri tersebut, biaya politik yang tinggi pada sistem Pilkada langsung membuat kepala daerah banyak yang melakukan korupsi.
Menanggapi hal tersebut, Hadar Nafis Gumay menilai biaya politik pada sistem Pilkada tidak langsung pun cukup tinggi.
Baca: Eks Kapolsek Kebayoran Baru yang Terjerat Kasus Narkoba Pernah Ditegur Foto Bareng Vitalia Sesha
"Melalui DPRD banyak masalah dan salah satunya yang diangkat adalah biaya politik tinggi. Di DPRD bukan tidak ada biaya, persoalan uang disana besar," ujar Hadar Nafis Gumay di kawasan Matraman, Jakarta, Minggu (24/11/2019).
Menurut peneliti senior Netgrit ini, jika kepala daerah ditunjuk DPRD, maka orientasi kerjanya tidak bertanggungjawab kepada rakyat.
Sehingga permainan politik uang antara kepala daerah dan DPRD bisa saja terjadi.
"Akan menjadi arena permainan politik, permainan uang, kalau tidak akan dijatuhkan. Jadi banyak masalah," kata Hadar Nafis Gumay.
Hadar Nafis Gumay menuturkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD berpotensi tidak dikehendaki rakyat.
Baca: Ganjar Pranowo: Jika Kepala Daerah Dipilih Lagi oleh DPRD, Kita seperti Tak Pernah Belajar
Menurutnya rakyat dapat melakukan perlawanan jika calon yang dipilih tidak sesuai kemauan mereka.
"Di DPRD itu bukan tidak ada persoalan politiknya, misalnya yang dipilih DPRD tidak dikehendaki oleh masyarakat, protes kekecewaan dan demo," kata Hadar Nafis Gumay.