TRIBUNNEWS.COM - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Harkristuti Harkrisnowo menyebut pemberian grasi Presiden Jokowi kepada Annas Maamun, tidak bermasalah selama diputuskan dengan alasan yang tepat.
Harkristuti kemudian menjelaskan syarat seorang narapidana bisa mendapatkan pengurangan hukuman dari presiden.
"Pertama dilihat dari tindak pidananya, kedua dilihat dari kerugiannya, ketiga dilihat dari kondisi si narapidana sendiri," ujarnya, dikutip dari YouTube Kompas TV, Rabu (27/11/2019).
Menurutnya, Jokowi mempunyai kewenangan untuk menentukan pemberian grasi.
Kewenangan tersebut dilandasi oleh alasan kuat, seperti kondisi kesehatan dan juga dari usia narapidana.
"Jadi presiden mempunyai kewenangan bebas untuk menentukan, apabila ada alasan kuat, misal yang bersangkutan sakit-sakitan, umurnya sudah hampir 80, buat saya itu kewenangan presiden," jelas dia.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memberi pengurangan hukuman penjara selama 1 tahun kepada Annas Maamun, sehingga hukuman Annas menjadi 6 tahun penjara.
Baca: Jokowi Beri Grasi ke Annas Maamun, ICW Ragukan Komitmennya Soal Anti Korupsi
Setelah kabar pemberian grasi itu beredar, Jokowi angkat bicara terkait alasan pemberian grasi tersebut.
"Semua yang diajukan kepada saya, kita kabulkan, coba dicek berapa ratus yang mengajukan dalam satu tahun, yang dikabulkan berapa coba dicek," ujar Jokowi di Istana Bogor, Rabu (27/11/2019).
Jokowi mengatakan pemberian grasi kepada Annas itu sudah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA).
Selain itu dari Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD juga sudah mempertimbangkannya.
"Kenapa itu diberikan, karena dari pertimbangan MA seperti itu, pertimbangan kedua dari Menkopolhukan juga seperti itu," jelas Jokowi.
Presiden juga menyampaikan alasan bahwa pemberian grasi itu berdasarkan sisi kemanusiaan.
"Ketiga, memang dari sisi kemanusiaan, ini kan umurnya sudah uzur dan sakit-sakitan terus," katanya.
Jokowi menegaskan, selain melihat dari sisi kemanusiaan, juga berdasarkan pertimbangan dari MA.
Baca: Jokowi Beri Grasi untuk Koruptor Annas Mamun: Ratusan Permohonan Hanya Beberapa yang Dikabulkan
"Dari kacamata kemanusiaan itu diberikan, tapi sekali lagi ini dari pertimbangan Mahkamah Agung," lanjutnya.
Ia menilai keputusan pemberian grasi tersebut tidak perlu dipermasalahkan, karena tidak setiap hari atau setiap bulan grasi diberikan.
"Kalau setiap hari kita keluarkan grasi untuk koruptor, setiap hari atau setiap bulan, itu silakan baru dikomentari," lanjut Jokowi.
Sementara, Indonesian Corruption Watch (ICW) menolak keputusan Presiden Jokowi memberi pengurangan hukuman (grasi) kepada terpidana korupsi Annas Maamun.
ICW meminta Presiden Jokowi untuk mencabut pemberian grasi kepada mantan Gubernur Riau itu.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, tidak perlu ada pengurungan hukuman penjara bagi narapidana kasus korupsi.
"Kejahatan korupsi masuk pada lembaga pemasyarakatan atau menjadi narapidana, tidak ada pengurangan hukuman dalam bentuk apapun," ujar Kurnia, Rabu (27/11/2019).
"Misalnya kita memberi contoh pada peraturan pemerintah Nomor 99 tahun 2012, dalam konteks remisi, pengurangan hukuman narapidana karena kasus korupsi, harus ada kolaborator," lanjut Kurnia.
Baca: Lolos Hingga 20 Besar, Capim Ini Minim Pengetahuan Soal KPK
Ia menilai keputusan Jokowi itu tidak harus dilakukan, jika pemberian grasi kepada Annas Maamun atas dasar kemanusiaan yang nilainya tidak bisa diukur.
"Jadi kalau hari ini konteksnya Annas Maamun diberikan grasi dengan dalih kemanusiaan yang tidak bisa diukur penilaiannya, maka dari itu harusnya tidak dilakukan," imbuhnya.
(Tribunnews.com/Nuryanti)