TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Departemen Pendidikan dan Cendekiawan DPP Partai Golkar, Ton Abdillah Has mengatakan rapat Pleno DPP Partai Golkar dengan agenda laporan kesiapan panitia dan penetapan materi Munas dilangsungkan tanpa pembahasan materi Munas pada Rabu (27/11/2019) kemarin.
"Steering Comittee sebagai panitia yang bertanggung jawab menyusun materi Munas hanya memaparkan kisi-kisi melalui slide di proyektor tanpa membagikan atau menunjukkan secara utuh sejumlah materi krusial yang membutuhkan pengesahan pleno," ujar Abdillah, Kamis (28/11/2019).
Menurut dia, diantara materi krusial tersebut adalah laporan pertanggungjawaban dan tata cara pemilihan ketua umum/ketua formatur dan anggota formatur.
Baca: GM FKPPI Desak Bamsoet Jangan Mundur
Meskipun diinterupsi banyak pengurus, menurut Abdillah, Ketua umum Airlangga Hartarto yang memimpin langsung rapat pleno beralasan hal tersebut akan dibahas di Munas sebagai forum tertinggi sehingga tidak perlu dibahas pada rapat pleno pengurus.
"Rasionalisasi ini bisa dimaklumi jika konteksnya adalah draf perubahan AD/ART atau draf rekomendasi Munas, namun logika yang sama tentu tidak tepat jika mengacu pada Laporan Pertanggungjawaban serta Tata Cara Pemilihan Pimpinan Partai," ujar Ketua DPP Majelis Dakwah Islamiyah ini.
Abdillah mengatakan laporan pertanggungjawaban merupakan laporan kolektif pengurus yang mestinya dibahas dan disahkan sebelum disampaikan pada forum Munas sedangkan Tata Cara Pemilihan Pimpinan Partai merupakan aturan yang harus ditetapkan sebelum Munas.
"Karena tahapannya sudah dimulai sebelum Munas digelar, yaitu tahap penjaringan calon ketua umum/ketua formatur," ujar dia.
Sebagai forum tertinggi, Abdillah mengatakan memang dapat saja terjadinya perubahan tata cara pemilihan jika dikehendaki peserta Munas namun kewajiban pimpinan pusat adalah menjalankan amanah Anggaran Rumah Tangga BAB XIV tentang Pemilihan Pimpinan Partai pasal 50, dimana poin kelimanya (terakhir) menyebutkan akan diatur dalam peraturan tersendiri.
"Sehingga draf Tatacara Pemilihan Pimpinan Partai yang disusun SC Munas belum sah digunakan jika belum dibahas dan disahkan rapat pleno pengurus," katanya.
Dikatakan bahwa pada draf Tatacara Pemilihan Pimpinan Partai yang disusun SC juga terdapat ketidaksesuaian dengan ART, dimana paparan lisan ketua SC menyebutkan adanya perubahan tatacara pencalonan menggunakan rekomendasi tertulis minimal 30% pemilik suara.
"Sementara ART pasal 50 menyebutkan pemilihan Ketua Umum DPP dilakukan secara langsung oleh peserta Musyawarah melalui tahapan penjaringan, pencalonan dan pemilihan," katanya.
Menurut dia, terdapat ambiguitas penempatan Pasal 12 poin 4 huruf A yang seyogyanya diletakkan pada fase pencalonan melalui pemilihan langsung (voting) di forum Munas, bukan sebagai mekanisme penjaringan lewat rekomendasi tertulis.
Baca : Kabar Buruk Tito Karnavian, Ucapannya Soal Reuni Akbar PA 212 Disoal, Dampaknya Ternyata Bisa Serius
"Keengganan sebagian pengurus DPP, khususnya Ketua Umum Airlangga Hartarto serta pendukungnya membahas serta mengesahkan Tatacara Pemilihan Pimpinan Partai dalam pleno semalam telah mencederai demokrasi di tubuh Partai Golkar dan beresiko menempatkan hasil Munas mendatang kehilangan legitimasi, baik secara politik maupun hukum. Lebih jauh lagi, kondisi ini berpotensi mendorong Partai Golkar pada perpecahan kembali," ujarnya.
Dijelaskan bahwa situasi menjelang Munas X Partai Golkar ini juga sangat rentan menjauhkan partai dari konstituennya, khususnya masyarakat kelas menengah yang selama ini mendukung Golkar karena karakter dan tradisinya yang terbuka dan demokratis.