TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menyatakan pemberian grasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke mantan Gubernur Riau Annas Maamun, telah melalui prosedur yang benar.
Ia menjelaskan, sebelum memberikan grasi, Presiden terlebih dahulu menelaah hasil kajian dari Mahkamah Agung (MA) dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, serta laporan penelitian kemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.
"Pertimbangannya karena terpidana sudah berusia lanjut dan kondisi kesehatannya yang buruk," papar Dini melalui pesan singkat, Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Baca: Meski Dapat Grasi dari Jokowi, Annas Maamun Masih Berstatus Tersangka KPK pada Kasus Ini
"Ironi pada saat kita berteriak penegakan HAM, namun di saat yang bersamaan kita mengharapkan terpidana tersiksa sampai mati di penjara," sambung Dini.
Menurutnya, perbedaan waktu sebelum dan sesudah pemberian grasi hanya satu tahun menjadi enam tahun hukuman penjara.
"Apa manfaat orang tersebut ditahan lebih lama satu tahun lagi? Apakah akan memberikan faedah lebih secara signifikan? Sementara orang tersebut, ada kemungkinan bisa meninggal dalam durasi satu tahun tersebut karena depresi dan kesehatan yang buruk," papar Dini.
Baca: Jokowi Beri Grasi untuk Narapidana Korupsi, Pengamat Sebut Citra Presiden Soal Antikorupsi Lemah
Ia menekankan, tujuan pemidanaan seseorang bukan untuk penyiksaan, tetapi kontrol sosial untuk memberikan efek jera atau mempertanggungjawabkan atas perbuatan terpidana.
"Yang paling penting adalah fungsi rehabilitasi. Harus diperhatikan juga tujuan dari pemidanaan, banyak orang tanpa sadar mengkaitkan pemidanaan dengan penyiksaan, harus tersiksa, kalau tidak tersiksa artinya belum dihukum," ujar Dini.