Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Oknum Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau memasang tarif senilai Rp 1,5 Miliar untuk pembangunan resort di kawasan hutan lindung di Provinsi Kepulauan Riau.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap ini saat membuka percakapan komunikasi via Whatsapp antara nelayan Abu Bakar dengan Budi Hartono, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau.
Baca: Jaksa Telusuri Peran Nurdin Basirun di Kasus Suap Penerbitan Izin Reklamasi di Batam
"Itu untuk hutan wisata," kata Abu Bakar, saat memberikan keterangan sebagai saksi di sidang kasus suap penerbitan Surat Izin Prinsip Pemanfaatan Laut dan lokasi proyek reklamasi untuk terdakwa Nurdin Basirun, Gubernur Nonaktif Kepulauan Riau, di ruang sidang, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Yadyn, JPU pada KPK menanyakan kepada Abu Bakar apakah tarif senilai Rp 1,5 Miliar itu masih terkait dengan Surat Izin Prinsip Pemanfaatan Laut.
"Terkait izin yang diajukan atau lain lagi?" tanya Yadyn.
"Ini mau bertanya, mau untuk hutan wisata," kata Abu Bakar.
"1,5 apa?" tanya JPU pada KPK.
"Kata Pak Budi (Hartono,-red) hutan wisata itu harga 1,5. Rp 1,5 miliar kalau diurus izinnya. Saya tidak tahu izin bagaimana? Baru bertanya saja," ungkapnya.
Untuk diketahui, Gubernur Nonaktif Kepulauan Riau, Nurdin Basirun, didakwa menerima uang senilai Rp 45 juta dan 11 Ribu Dollar Singapura terkait penerbitan Surat Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut di lokasi lahan laut Piayu Laut, Piayu Batam, Kepulauan Riau.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan surat dakwaan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Rabu (4/12/2019).
JPU pada KPK menyebutkan Nurdin Basirun menerima suap melalui Edy Sofyan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau dan Budy Hartono, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau.
Uang itu bersumber dari pengusaha asal Kepulauan Riau, Kock Meng, serta dua orang nelayan, Johanes Kodrat dan Abu Bakar.
JPU pada KPK menjelaskan, Nurdin dalam kapasitas sebagai gubernur menerbitkan Surat Izin Prinsip Pemanfaatan Laut Nomor: 120/0796/DKP/SET tanggal 7 Mei 2019 tentang permohonan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut di lokasi lahan laut Piayu Lautn Piayu Batam atas nama pemohon Kock Meng seluas 6,2 ha.
Lalu, Surat Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut Nomor:120/0945/DKP/SET tanggal 31 Mei 2019 tentang permohonan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut di Pelabuhan Sijantung Jembatan Lima atas nama pemohon Abu Bakar seluas 10,2 ha.
Dan rencana memasukkan kedua izin prinsip tersebut ke dalam daftar Rencana Perda RZWP3K.
Atas perbuatan itu, terdakwa diancam pidana menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Baca: 2 Anak Buah Gubernur Nonaktif Kepri Nurdin Basirun Didakwa Terima Suap Rp 45 Juta dan SGD 11.000
Pada Rabu (11/12/2019) ini, sidang beragenda pemeriksaan saksi untuk terdakwa Nurdin Basirun, Gubernur nonaktif Kepulauan Riau.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan dua orang saksi. Mereka yaitu, Johanes Kodrat dan Abu Bakar, nelayan di Kepulauan Riau.