News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Maju Pilkada 2020, Gibran dan Bobby Bantah Sedang Membangun Politik Dinasti

Penulis: Faisal Mohay
Editor: Miftah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution dikabarkan akan maju dalam Pilkada 2020.

TRIBUNNEWS.COM - Putra Sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming membantah pencalonan dirinya menjadi Wali Kota Solo merupakan politik dinasti. 

Ia menegaskan, pencalonannya di Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Solo 2020 adalah upayanya berkontribusi untuk kota kelahiran.

"Saya hanya ingin sedikit menyumbangkan diri saya untuk kota kelahiran saya itu saja," ungkapnya dilansir YouTube Kompas TV, Sabtu (7/12/2019).

Ketika ditanya cita-citanya untuk Kota Solo, Gibran enggan menjawab dan akan mengungkapkan hal itu ketika masa kampanye. 

"Itu nanti bisa saya jelaskan jika sudah memasuki masa-masa kampanye," ujarnya. 

Sementara itu, Menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Bobby Nasution juga membantah isu bahwa majunya sebagai calon Wali Kota Medan dalam upaya ingin membangun politik dinasti.

"Mungkin dinastinya dinasti motivasi, kalau dinasti politik, dinasti kekuasaan itu lebih enak kita berkarya," ungkapnya.

Menurutnya dinasti yang dia pakai adalah dinasti motivasi.

"Kalau dibilang dinasti dari mertua saya motivasinya itu semangatnya itu mertua saya, ya saya tidak bisa memuji, tidak bisa bilang sendiri, bisa dilihat kinerjanya," ujarnya dilansir melalui YouTube Kompas TV, Selasa (10/12/2019).

Ia juga menambahkan jika terjun ke politik jika untuk mencari uang itu salah.

"Kalau tujuannya untuk mencari uang lebih enak kita menjadi keluarga saja daripada kita berkecimpung langsung," katanya.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz mengatakan majunya Bobby Nasution dan Gibran Rakabuming dalam Pilkada 2020 akan merugikan Joko Widodo (Jokowi).

Menurutnya, Jokowi di periode pertama sama sekali tidak memberikan akses anak dan keluarganya di pemerintahan. 

Berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya yakni di masa Susilo Bambang Yudhoyono dimana anak-anaknya masuk gelanggang politik. 

"Sehingga Jokowi waktu itu muncul sebagai sosok politik anti thesis atas politik nasional. Tapi sekarang yang paling dirugikan adalah pak Jokowi sendiri," ujarnya dilansir melalui YouTube Kompas TV, Minggu (8/12/2019).

Ia menambahkan citra Jokowi di periode pertama seakan-akan anaknya mengambil jarak dengan proyek pemerintah karena jualan pisang.

"Saya apresiasi Jokowi di periode pertama seluruh akses APBN, APBD ditutup untuk anak dan keluarganya. Anaknya mengambil jarak dengan proyek pemerintah karena jualan pisang itu yang sering kita mendengar," ungkapnya.

Donal Fariz (Theresia Felisiani/Tribunnews.com)

Donal Fariz tidak melarang Bobby dan Gibran untuk mencalonkan diri dalam kontestasi Pilkada karena setiap orang punya hak mencalonkan.

Tapi, ketika anak dan keluarganya sudah terjun ke politik yang dibicarakan adalah nepotisme dan kelayakan dari segi politik.

"Saya melihat pak Jokowi berbeda dan kita sulit menjadikan Jokowi contoh kepemimpinan yang memberikan batas politik atas keluarganya," katanya. 

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW ini menambahkan jika ada gelombang diss trust terhadap demokrasi. 

Gelombang diss trust ini muncul karena demokrasi dikelola oleh segelintir orang.

Dan problem dinasti politik dan oligarki politik tidak hanya problem satu partai tapi banyak partai.

Mardani Ali Sera (Chaerul Umam)

Sebelumnya, Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera menanggapi majunya menantu Joko Widodo (Jokowi) Bobby Nasution dan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.

Menurutnya majunya Bobby dan Gibran adalah bukti adanya nepotisme.

Ia menambahkan jika nepotisme merupakan suatu kemunduran bagi demokrasi Indonesia. 

"Saya tidak ingin judgement semua orang berhak. Tapi sikap saya nepotisme itu adalah kemunduran bagi Demokrasi Indonesia," ujarnya dilansir melalui YouTube Kompas TV, Rabu (4/12/2019).

Pendapat dari Mardani Ali Sera ini disanggah oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari.

M Qodari mengatakan jika definisi nepotisme yang diterima secara umum adalah memilih saudara di luar kemampuannya. 

Screenshoot (Youtube Indonesia Lawyers Club)

Menurutnya nepotisme lebih mudah dituding untuk jabatan yang sifatnya ditunjuk.

Ia memberikan contoh ketika zaman Presiden Soeharto.

"Misalnya pak Harto dulu tahun 1997 mengangkat mbak Tutut sebagai Menteri Sosial," ungkapnya dilansir melalui YouTube Kompas TV, Rabu (4/12/2019).

Pengamat politik ini menilai agak sulit dikatakan nepotisme sepenuhnya untuk jabatan yang sifatnya dipilih.

Hal ini dikarenakan masyarakat punya kesempatan untuk memilih. (*)

(Tribunnews.com/Faisal Abdul Muhaimin)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini