TRIBUNNEWS.COM - Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Buya syafii Maarif meminta pemerintah mengkaji ulang program penggantian ujian nasional (UN) yang akan diterapkan pada 2021.
Diketahui, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengumumkan pelaksanaan ujian nasional akan diganti menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Meskipun UN akan diganti, pelaksanaan ujian nasional 2020 tetap akan diselenggarakan seperti rencana sebelumnya.
Menanggapi keputusan dari Nadiem Makarim itu, Buya Syafii Maarif meminta penerapan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, diputuskan dengan hati-hati.
"Harus hati-hati, tidak segampang itu," ujar Buya Syafii Maarif di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (12/12/2019), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Buya Syafii menambahkan jika ia berharap penggantian ujian nasional itu harus dilihat dari berbagai sudut pandang.
"Artinya ditinjau dari segala perspektif ya, sebab di mana-mana ujian sekolah ada," kata dia.
Menurut Buya, jika pelaksanaan ujian nasional benar-benar diganti, maka siswa tidak belajar dengan sungguh-sungguh lagi.
"Nanti kalau tidak begitu, para siswa itu tidak sungguh-sungguh lagi," imbuhnya.
Buya Syafii berharap Nadiem Makarim tidak buru-buru memutuskannya.
Menurutnya, sebaiknya program Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu dikaji kembali.
"Jangan tergesa-gesa, dikaji ulang secara mendalam," tegas Buya.
Berbeda dengan Buya Syafii Maarif, Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru mendukung penggantian ujian nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter pada 2021 mendatang.
Menurut Jokowi, pada program asesmen itu yang menjadi sasarannya adalah sekolah dan para guru yang mengajar.
Hal tersebut Jokowi sampaikan setelah meresmikan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek, Kamis (12/12/2019).
"Sudah tidak ada UN lagi nanti di 2021, akan diganti dengan yang namanya Asesmen Kompetensi," ujar Jokowi.
"Artinya yang di-asesmen nanti adalah sekolah, yang di-asesmen nanti guru-guru," jelas Jokowi.
Selain itu, Jokowi juga menyampaikan, program survei karakter akan dijadikan pemerintah untuk mengevaluasi pendidikan Indonesia.
"Juga nanti ada yang namanya survei karakter, itu nanti yang akan dijadikan evaluasi, pendidikan kita sudah sampai level mana," ungkapnya.
Sehingga, Jokowi menegaskan, pemerintah mendukung langkah dari Nadiem Makarim untuk mengganti pelaksanaan ujian nasional 2021.
"Saya kira kita mendukung apa yang sudah diputuskan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan," lanjutnya.
Apa itu Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter?
Nadiem Makarim menjelaskan pengertian dari program pengganti Ujian Nasional yaitu Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter,
Dikutip dari YouTube Kompascom Reporter on Location, menurut Nadiem, program pengganti itu tengah dibahas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Namun, sudah ditentukan, pelaksanaan program tersebut akan berbasis komputer.
"Secara teknis, detailnya kita sedang membahas, tapi sudah pasti akan dilaksanakan melalui komputer," ujar Nadiem saat Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019).
Pelaksanaan berbasis komputer tersebut, menurutnya itu berdasarkan standar nasional yang sudah ditentukan.
"Apapun dalam standar nasional itu computer based," lanjutnya.
Program pengganti UN itu, Nadiem mengatakan sebagai gerakan Kemendikbud ke depan.
Selain itu, program baru tersebut akan menjadi tugas ke depan Kemendikbud untuk membantu semua siswa di Indonesia dapat mengoperasikan komputer.
"Jadi itu adalah gerakan kita, PR kita selama satu tahun ke depan ini adalah memastikan semua murid itu bisa (menggunakan)," jelasnya.
Alasannya, menurut Nadiem, masih ada siswa dibeberapa daerah yang belum bisa mengoperasikan komputer.
"Karena beberapa di daerah kan belum bisa," jelasnya.
Sehingga tugas tersebut, akan dituntaskan Nadiem Makarim bersama Kemendikbud pada tahun ini.
"Jadi itu harapannya harus kita tuntaskan tahun ini," tambah Nadiem.
Nadiem Makarim mengatakan, penggantian UN tersebut dianggap kurang ideal untuk mengukur prestasi belajar siswa.
Nadiem juga menyebut, materi dalam ujian nasional juga terlalu padat.
Menurutnya, materi yang padat tersebut mengakibatkan siswa cenderung berfokus pada hafalan materi dan bukan kompetensi.
"Ini sudah menjadi beban stres antara guru dan orang tua. Karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu," ungkap Nadiem.
Nadiem menjelaskan, semangat UN itu untuk mengasesmen sistem pendidikan, baik itu sekolahnya, geografinya, maupun sistem pendidikan secara nasional.
Sehingga, ia menjelaskan, UN hanya menilai satu aspek, yakni kognitifnya.
Malah menurutnya, belum menyentuh seluruh aspek kognitifnya, tapi lebih kepada penguasaan materi.
"Belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," tambah Nadiem.
(Tribunnews.com/Nuryanti)