“Apa yang terjadi sekarang ini yaitu semakin banyaknya pergesekan diantara anak bangsa, bisa diatasi bila mamahami Pancasila itu secara bertahap dan utuh,” tutup Ketum BPI Bayu Putra.
Ditempat yang sama Jimmy Mahardika selaku Wakil Sekjen Balai Pancasila institute (BPI) juga turut memberikan pemaparannya bahwa para pendiri kita sudah meletakkan dasar bernegara yaitu Pancasila, melalui sebuah penggalian berdasarkan sejarah kejayaan masa lalu dan karakter bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama, tetapi memiliki satu kesamaan dalam hal adat istiadat ketimuran.
Tetapi kenapa seolah-olah Pancasila itu hanya jargon semata dan tampak sulit mewujudkannya, karena sebagian besar memandang Pancasila tidak secara sederhana, dan tidak melihat dari sudut pandang sebagai rakyat Indonesia yang memiliki adat istiadat ketimuran.
“Untuk mewujudkan cita-cita sebagai sebuah bangsa yang bernegara, maka Pancasila harus dijalankan secara murni dan konsekuen. Apa maksud dari kata "murni dan konsekuen". Maksud dari kata murni adalah menerapkan secara sederhana setiap sila yang terdapat di Pancasila. Kemudian secara konsekuen yaitu secara berurutan, bertahap dalam pelaksanaannya. Sila dalam Pancasila dibuat berurutan dari sila 1 ke sila ke 5 bukanlah hal kebetulan. Kelima sila tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi sebuah sila yang berurutan dalam pencapainnya,” papar Jimmy Mahardika.
Kami menggunakan wadah BPI sebagai tempat untuk menyampaikan gagasan baru, penemuan baru dalam memahami Pancasila, bahkan bereksperimen tentang ideologi Pancasila, karena kami semua di BPI meyakini bahwa memang Pancasila yang menyatukan bangsa ini, yang mengerti betul karakter bangsa ini. Dan kita melihat ideologi Pancasila sebenarnya sudah ada sebelum penetapan kata Pancasila itu sendiri oleh para pendiri bangsa ini.
Sebenarnya para pendiri kita sudah meletakkan dasar bernegara yaitu PANCASILA, sebuah penggalian berdasarkan sejarah kejayaan masa lalu dan karakter bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama, tetapi memiliki satu kesamaan dalam hal adat istiadat ketimuran. Tetapi kenapa seolah-olah PANCASILA itu hanya jargon semata dan tampak sulit mewujudkannya, karena sebagian besar memandang PANCASILA tidak secara sederhana, dan tidak melihat dari sudut pandang sebagai rakyat Indonesia yang memiliki adat istiadat ketimuran.
Yang terjadi sekarang hanya sekedar bagaimana kepentingan pribadi dan golongannya terakomodasi. Bahkan berujung pada gontok-gontokan, dan pemaksaan kehendak. Salah satu yang paling mudah adalah "membeli", sehingga uang menjadi sebuah elemen yang sangat penting dalam persatuan model instant begini.
Di dasar sila yang ke-4 bisa kita lihat bahwa penyelenggaraan pemerintahan melalui sistem musyawarah bersama agar memberikan solusi secara bijaksana, yang dilakukan oleh perwakilan dari seluruh elemen bangsa ini.
Perwakilan terdiri dari wakil semua elemen masyarakat yang dipilih oleh masing-masing golongan, suku dsb. Kenapa harus wakil? bukannya semua rakyat ikut serta?. Hal ini karena tidak semua rakyat Indonesia itu mampu, baik secara emosi, intelektual, dan fisik. Juga secara karakter dan sejarah bangsa ini yaitu setiap suku memiliki dewan perwalian adat, yang terdiri dari tokoh yang memiliki kapasitas yang mumpuni secara alamiah.
Praktek demokrasi yang mengkiblat ke barat terutama demokrasi ala Amerika Serikat, menurut saya, tidaklah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Karakter bangsa ini sangat jauh berbeda. Bangsa Indonesia memiliki akar sejarah sejak ribuan tahun silam, yang sudah terbiasa dengan gotong royong, musyawarah, wali adat, dan sistem kerajaan.
Hal ini berbeda dengan karakter bangsa Amerika Serikat yang baru berusia ratusan tahun. Bangsa Amerika Serikat tidak mempunyai kebudayaan asli. Mereka terdiri dari berbagai suku bangsa yang merantau, sehingga yang ada adalah suara mayoritas yang memerintah bangsa tersebut.
“Dampak dari berkiblatnya kita terhadap demokrasi ala Barat, bisa dilihat bagaimana bangsa kita menanggung ongkos politik yang sangat besar melalui pilkada, pemilihan anggota dewan, dan presiden. Dan hasilnya bangsa kita menjadi terpecah belah, kerusuhan dimana-mana, korupsi merajalela,” pungkas Sekjen BPI Jimmy Mahardika.