Dia pun mendesak pemerintah Indonesia agar menindaklanjuti arus aspirasi umat Islam dan bersikap lebih tegas untuk menghentikan pelanggaran HAM di Xinjiang sesuai dengan amanat UUD 1945 dan politik luar negeri yang bebas aktif.
"Pemerinta Indonesia hendaknya lebih aktif menggunakan peran sebagai anggota OKI dan anggota tidak tetap Dewan KEamanan PBB untuk menggalang diplomasi dihentikannya pelanggaran HAM di Xinjiang dan beberapa negara lainnya," ujarnya.
Tidak ada kebebasan beragama di Xinjiang
Dalam kunjungan tersebut, rombongan ormas Islam dari Indonesia yang terdiri dari 15 orang menemukan adanya pelanggaran HAM berupa dikekangnya kebebasan beragama yang dialami Muslim Uighur, seperti diungkapkan oleh salah satu delegasi yang juga merupakan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi.
"Kunjungan ke beberapa tempat, masjid, ke insitut agama Islam semakin meyakinkan kami bahwa tidak ada kebebasan beragama, freedom of religion itu tidak terbukti," ujar Muhyiddin.
Demonstrasi serupa juga digelar di Banda Aceh.
Hal ini disebabkan dalam konstitusi China disebutkan bahwa agama hanya bisa dipraktikkan di ruang tertutup dan dilarang dipraktikkan di ruang terbuka.
"Kalau menggunakan jilbab dan keluar ruangan, Anda dianggap radikal. Kalau Anda radikal maka Anda berhak dikirim ke re-education center."
"Selama di re-education center, tidak boleh sholat, tidak boleh puasa, tidak boleh baca Al Quran, makan seadanya yang disajikan pemerintah dan itu under heavy surveilance," tuturnya.
Gambaran yang disampaikan Muhyiddin konsisten dengan berbagai temuan sejumlah lembaga internasional.
Para pakar mengatakan kepada BBC bahwa apa yang terjadi di balik pagar kamp bisa dikategorikan sebagai "penyiksaan psikologis".
PBB memperkirakan sekitar satu juta Muslim Uighur ditahan di kamp-kamp penjara yang oleh pemerintah China disebut pusat re-edukasi.
Meski tudingan kucuran dana dari pemerintah China itu ditampik oleh NU dan Muhamadiyah, laporan lembaga pemikir IPAC mengungkap apa yang disebut 'hubungan harmonis' antara dua ormas Islam besar di Indonesia itu dengan pemerintah China, sudah berlangsung lama.
"Bantuan-bantuan donasi atau funding terhadap NU dan Muhammadiyah sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak Indonesia membuka hubungan diplomatik kembali dengan China di akhir 1990an," ujar peneliti IPAC, Deka Anwar.