'Hubungan harmonis' antara ormas Islam dan pemerintah China
Dalam laporannya, IPAC menyebut bahwa kedua ormas telah menandatangani kerjasama dengan pemerintah China dalam hal bantuan pendidikan, kesehatan dan pemberantasan kemiskinan.
IPAC menemukan bahwa pada bulan Ramadhan 2015, Kedutaan Besar China di Jakarta mendonasikan Rp 100 juta untuk anak-anak yatim piatu di Nahdlatul Ulama.
Pada 2018, Kedutaan Besar China mendonasikan fasilitas instalasi sanitasi di beberapa desa yang dihuni anggota NU di Cirebon, Indramayu dan Karawang.
Pada saat yang sama, Duta Besar China pula mengumumkan beasiswa bagi mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama.
Pada Juni silam, NU mendirikan kantor cabang di China dan hingga Juni 2019, telah ada sekitar 246 mahasiswa Indonesia yang menjalankan studi di sana.
Menelusuri kamp 'de-radikalisasi' Muslim Uighur di China
Sementara itu, pada pertengahan tahun ini, universitas dan rumah sakit yang dikelola Muhammadiyah menjalin kerjasama dengan sejawatnya di China.
"Ormas besar di Indonesia memiliki hubungan yang harmonis dengan Kedutaan Besar China. ada ratusan mahasiswa NU yang belajar di China, mereka bisa memberikan testimoni bahwa tidak ada Islamofobia di China.
"Tapi kan Islamofobia di China tidak ada, bukan berarti pelanggaran HAM di provinsi Xinjiang tidak ada," kata Deka.
Keluarga Uighur berdoa di kuburan anggota keluarga mereka pada hari Idul Adha, September 2016, di wilayah Xinjiang barat.
Lebih jauh, Deka menjelaskan ada dua alasan mengapa Indonesia bungkam terhadap isu Muslim Uighur.
"Bahwa investasi China begitu besar jadi kita bungkam. Kedua, masyarakat Muslim Indonesia masih terbagi, masih banyak yang belum percaya dengan pelanggaran HAM di Xinjiang," jelasnya.
Namun, hal ini ditampik oleh Wasekjen PBNU Masduki Baidlowi yang menyebut kerjasama terkait pendidikan, tidak hanya dijalin dengan pemerintah China saja, namun juga negara-negara lain.
"Jadi tidak ada yang spesifik kedekatan khusus, itu nggak."
"Karena kedekatan kita bangun hubungan yang baik untuk bagaimana kita melakukan dakwah Islam ke berbagai negara. Karena NU sebagai batang tubuh Islam moderat di Indonesia, kita ingin mengekspor ajaran Islam yang ramah ini ke berbagai negara yang lain," jelasnya.
Pemerintah Indonesia dituntut untuk lebih vokal menyangkut persoalan Muslim Uighur.
Masduki yang juga juru bicara Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengungkapkan, berbeda dengan negara-negara barat yang lantang menyuarakan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur -kebijakan yang disebut megaphone diplomacy - Indonesia memilih pendekatan lunak menyoal isu tersebut.
Dia mencontohkan dalam pertemuan pejabat dari berbagai negara di Madrid, Spanyol beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menanyakan persoalan Muslim Uighur kepada Pemerintah China yang turut hadir dalam even tersebut.
"Artinya, kami tidak diam. Tetapi yang lain berteriak seperti pemerintahan di Eropa atau Amerika, dan kami tidak berteriak. ketika kami tidak berteriak, jangan lalu dianggap bahwa kami itu bungkam," tegas Masduki.
Sejauh ini belum ada demonstrasi besar di Indonesia sehubungan dengan dugaan pelanggaran HAM yang dialami oleh Muslim Uighur di China, terutama baru-baru ini setelah muncul laporan dugaan pencucian otak di kamp-kamp tahanan.
Dalam kasus-kasus internasional lain, seperti masalah Palestina dan Rohingya, sejumlah ormas kerap menyuarakan dukungan mereka.
Pemerintah China dalam berbagai kesempatan selalu membantah telah terjadi pelanggaran terhadap warga Muslim Uighur.