Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi NasDem Ahamad Sahroni tidak sependapat dengan pendapat Indonesia Police Watch (IPW) yang menyebut penunjukkan Irjen Pol Nana Sudjana sebagai Kapolda Metro Jaya untuk menonjolkan adanya ‘geng Solo di Polri’.
Sebutan ‘geng Solo’ itu yakni mereka yang pernah menjabat sebagai Kapolresta Solo saat presiden Jokowi menjabat Wali Kota Solo.
Untuk diketahui Nana pernah menjabat sebagai Kapolresta Solo pada 2010 saat Jokowi menjabat Walikota.
Baca: DPR Nilai Wajar Kapolda Metro Jaya Baru Orang yang Sudah Dikenal Presiden
Sahroni mengatakan bahwa pendapat IPW tersebut mengada-ngada.
Menurutnya, penunjukkan Irjen Pol Nana Sundjana sebagai Kapolda Metro Jaya berdasarkan penilaian objektif.
“Pasti ada kriteria profesionalnya lah, nggak mungkin ujug-ujug diangkat jadi Kapolda Metro Jaya dengan alasan yang sembarangan. Menurut saya, anggapan bahwa Pak Nana ditunjuk sebagai Kapolda Metro karena dirinya pernah menjabat sebagai Kapolresta Solo itu tidak berdasar,” ujar Sahroni kepada wartawan Selasa (24/12/2019).
Baca: Sudah Siapkan Visi Misi untuk Bangun Solo, Gibran Mulai Aktif Blusukan dan Hadiri Acara Relawan
Menurutnya jabatan Kapolda Metro jaya sangatlah strategis.
Orang yang menempati posisi tersebut harus benar-benar layak.
Karena itu, ia yakin Kapolri Jenderal Idham Azis mengangkat Kapolda Metro Jaya bukan karena faktor kedekatan saja.
“Ini jabatan yang sangat strategis, nggak bisa main-main. Jadi pasti Pak Kapolri juga sudah mempertimbangkan berbagai hal secara matang dan objektif. Selain itu, para polisi ini juga berjenjang kariernya. Jadi walaupun benar bahwa mereka pernah dinas di Solo, saya rasa semua Akpol juga kayaknya pernah dinas di sana.” Katanya.
Baca: Angkie Yudistia Enggan Bandingkan Stafsus Millenial dan Kolonial
Sahroni sendiri menilai bahwa Nana Sudjana memiliki kapabilitas untuk mengembat jabatan Kapolda Metro Jaya.
Nana sudah pernah menduduki sejumlah jabatan startegis di kepolisian.
Mulai dari Direktur Intelkam, Wakapolda, hingga Kapolda.
“Jadi sampai Irjen Nana ini terpilih dalam posisi strategis seperti Kapolda Metro Jaya, itu memang karena mereka punya kapabilitas yang sudah teruji, bukan kaleng-kaleng. Makanya anggapan bahwa Geng Solo itu ditempatkan pada posisi-posisi strategis di kepolisian itu tidak berdasar,” pungkas Sahroni.
Sebelumnya Indonesia Police Watch (IPW) menyayangkan bantahan Istana soal Jokowi membangun "Geng Solo" di Polri.
Bantahan itu dinilainya tidak sesuai kenyataan.
Baca: Masih Cuti, Syamsuddin Haris Sambangi Gedung KPK: Cek Ruang Kerja
"Seharusnya Istana introspeksi karena upaya membangun 'Geng Solo' itu sudah merusak sistem karir di Polri dan membuat frustrasi di internal kepolisian," kata Ketua Presidium Ind Police Watch, Neta S Pane dalam keterangan tertulisnya, Selasa (24/12/2019).
Menurut Neta, ucapannya tersebut bukan pepesan kosong.
Alasannya saat ini, banyak kalangan perwira polisi yang diklaim resah dengan cara pemilihan pengisian jabatan di struktur korps Bhayangkara.
"IPW saat ini melihat keresahan yang dalam di kalangan perwira Polri. Mereka merasakan slogan Promoter bukan lagi berarti Profesional, Modern dan Terpercaya. Tapi sudah menjadi Promosi Orang Orang Tertentu, yang dekat dengan kekuasaan," ungkap Neta.
Namun demikian, dia memahami penunjukkan yang dilakukan Jokowi merupakan cara yang sah.
Khususnya untuk memilih orang dekatnya waktu di Solo.
Ia kemudian menyinggung beberapa nama yang pernah menjabat Kapolresta Solo yang karirnya sangat moncer.
Yang paling mencolok, Ahmad Lutfi yang usai sukses mengawal pernikahan putri Jokowi langsung menjadi Wakapolda Jawa Tengah.
"Cara seperti ini merupakan berkah tersendiri bagi perwira yang pernah bertugas di Solo. Namun hendaknya dalam menggunakan privilise itu, Jokowi tidak merusak tatanan, hirarki, dan sistem karir yang sudah dibangun Polri sejak lama," tutur Neta.
Hal itu, kata dia, berbanding terbalik dengan Geng Solo dari kalangan TNI yang karirnya tidak semoncer Geng Solo dari Polri.
"Widi Prasetijono misalnya, hingga kini masih berpangkat Brigjen. Lulusan Akmil 1991 itu masih menjabat Danrem 091/Aji Surya Natakesuma di Kaltim. Begitu juga Bakti Agus Fadjari Akmil 1987 yang menjabat Danrem Solo saat Jokowi jadi Walikota Solo hingga kini masih menjabat Aster Kasad, dengan pangkat Mayjen," bebernya.
Lebih lanjut, dia menambahkan, saat ini adanya fenomena yang dianggap merusak sistem karir yang telah dibangun dalam institusi polri.
Yakni, Hirarki, senioritas dan sistem urut kacang makin ditabrak tabrak serta dihancurkan.
"Kapolda Papua Barat misalnya, tiba tiba bisa jadi Assop Polri. Karorenmin Bareskrim bisa jadi Asrena. Jabatan Asisten sepertinya makin tak berharga dan tak bergengsi lagi. Dan tidak perlu diisi oleh perwira yang berpengalaman. Padahal dulu diisi para jenderal senior yang sudah punya pengalaman malang melintang di organisasi kepolisian. Sepertinya organisasi Polri terlihat makin kacau dan semaunya," ungkapnya.
"Institusi Polri terlihat makin tidak taat hirarki. Proses karir tidak lagi harus urut kacang dan tidak harus mengikuti penggolongan senior yunior untuk jabatan tertentu yang strategis. Tapi lebih pada faktor kedekatan dengan orang orang tertentu. Institusi Polri terlihat makin tidak mendalami esensi pembinaan karyawan (binkar) di dalam kepolisian," lanjutnya.
Atas dasar itu, menurut dia, cara seperti ini dinilai akan berdampak buruk bagi lingkungan polri.
"Anggota Polri semakin tidak punya pegangan dalam menapaki jenjang kariernya. Sistem yang terjadi di Polri sekarang ini bukan out off the box tapi kekonyolan yang bisa membuat frustrasi dan menghancurkan institusi Polri," pungkasnya.