TRIBUNNEWS.COM - Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengalami korban penyerangan pada 11 April 2017 kini bisa bernapas lega.
Setelah bergulir selama dua tahun delapan bulan, akhirnya kasus penyiraman air keras yang menimpanya menemui titik terang.
Tersangka penyerang Novel sudah ditangkap pihak kepolisian, Kamis (26/12/2019).
Yang mengejutkan, mereka adalah dua anggota polisi aktif yang berinisial RM dan RB.
Saat ini, pelaku mendekam selama lebih kurang 20 hari di Rutan Bareskrim Polri guna penyidikan lebih lanjut.
Sementara pada bulan Juli lalu, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan menyebut, ada 6 kasus high profile yang mungkin memunculkan balas dendam atau serangan balik terhadap Novel.
Enam kasus itu yakni kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP); kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar; kasus Mantan Sekjen MA, Nurhadi; kasus korupsi mantan Bupati Buol, Amran Batalipu; kasus korupsi Wisma Atlet, dan kasus penembakan pelaku pencurian sarang burung walet di Bengkulu pada 2004.
Berikut informasi enam kasus yang ditangani Novel yang Tribunnews.com dapatkan dari berbagai sumber:
1. Kasus Suap Sekjen MA Nurhadi
KPK menetapkan eks sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi sebagai tersangka.
Nurhadi diduga terlibat kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA serta penerimaan gratifikasi.
Nurhadi dijerat bersama Rezky Herbiyanto yang merupakan menantunya serta Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan, pada 2010, PT MIT menggugat perdata PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN).
Pada awal 2015, Rezky menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Hiendra untuk mengurus dua perkara, yakni Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi Nomor: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN dan proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.
"Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut tersangka RHE menjaminkan delapan lembar cek dari PT MIT dan tiga lembar cek milik RHE untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp 14 miliar," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (16/12/2019).
Saut menambahkan, Nurhadi melalui Rezky dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 juga diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp 12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat Kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
"Sehingga, secara keseluruhan diduga NHD melalui RHE telah menerima janji dalam bentuk sembilan lembar cek dari PT MTI serta suap atau gratifikasi dengan total Rp 46 miliar," kata Saut.
2. Kasus Suap Ketua MK Akil Mochtar
Dilansir melalui Kompas.com, kasus korupsi yang dilakukan mantan Ketua MK, Akil Mochtar telah menggurita.
Akil diganjar hukuman seumur hidup karena menerima suap dan gratifikasi terkait penanganan belasan sengketa pilkada di MK, serta tindak pidana pencucian uang.
Bahkan, menurut jurnalis senior Harian Kompas yang menulis buku "Akal Akal Akil", Budiman Tanuredjo, kasus korupsi Akil merupakan satu skandal terbesar sepanjang sejarah peradilan Indonesia.
Belum pernah terjadi seorang hakim yang juga Ketua MK masuk penjara gara-gara melakukan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan uang sampai ratusan miliar rupiah.
Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menyatakan, Akil terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan pertama:
- Terkait penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar)
- Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar)
- Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS)
- Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar)
Hakim juga menyatakan, Akil terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan kedua:
- Sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar),
- Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar),
- Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar)
- Menerima janji pemberian terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar).
3. Kasus Korupsi Bupati Buol
Mantan Bupati Buol, Amran Batalipu dijatuhi hukuman tujuh tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.
Saat menjadi Bupati Buol pada 2012 yang dikutip dari Kompas.com, Amran dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima hadiah atau janji berupa uang Rp 3 miliar dari PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP)/ PT Cipta Cakra Mudaya (PT CCM) dalam dua tahap.
Uang tersebut merupakan barter atas jasa Amran yang membuat surat rekomendasi terkait izin usaha perkebunan dan hak guna usaha perkebunan untuk PT HIP/ PT CCM di Buol.
Menurut majelis hakim, Amran terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP sebagaimana dalam dakwaan pertama.
4. Kasus Korupsi Wisma Atlet
Tahun 2016 merupakan akhir perjalanan panjang proses hukum mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.
Pada Juni 2016, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mejatuhkan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan terhadap Nazaruddin.
Majelis hakim menilai mantan anggota DPR RI tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang.
Dalam amar putusan yang dilansir melalui Kompas.com, Majelis Hakim menyatakan vonis penjara terhadap Nazaruddin tidak dipotong masa tahanan.
Sebelum divonis dikasus pencucian uang saham Garuda Indonesia, Nazaruddin sudah dipenjara terlebih dahulu putusan pengadilan dalam dakwaan yang berbeda.
Gratifikasi dan pencucian uang Dalam sidang putusan, Nazaruddin didakwa menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek di sektor pendidikan dan kesehatan, yang jumlahnya mencapai Rp 40,37 miliar.
5. Kasus Suap Sarang Burung Walet
Akibat terjadinya perseteruan KPK dan Polri, pada tahun 2012, Novel sempat digelandang oleh Polri karena dianggap sebagai tersangka.
Ia diduga melakukan penembakan terhadap pencuri sarang burung walet saat ia masih bertugas di Polres Bengkulu 2004 silam.
Tentu saja, Novel membantah ada keterlibatannya dalam kasus tersebut.
Bahkan ketegangan Polri dan KPK memaksa para penyidik yang berasal dari polisi yang berada di KPK untuk ditarik kembali ke Mabes Polri.
Novel satu di antara sosok yang memilih keluar dari polisi dan menjadi penyidik di KPK.
Ia pun diangkat sebagai penyidik tetap tahun 2014.
Di tengah menjalani tugasnya, pada tahun 2015, kasus burung walet diungkit lagi.
Novel ditangkap di kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Namun, ayah 4 anak ini terbebas karena tidak cukup bukti.
6. Kasus Mega Korupsi e-KTP
Dilansir melalui Kompas.com, pada 2016, KPK melanjutkan penanganan perkara korupsi e-KTP yang dimulai pada 2014
Berangsur-angsur selama periode 2016-2019, KPK menetapkan 12 tersangka lain dalam perkara yang merugikan negara Rp 2,3 triliun ini.
Dalam perkara pokoknya, KPK sebelumnya sudah memproses delapan orang.
Beberapa nama di antaranya adalah mantan Ketua DPR Setya Novanto, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, pengusaha Made Oka Masagung, dan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Kemudian pengusaha Andi Naragong dan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.
Semuanya telah diproses di persidangan dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan melakukan tindak pidana korupsi.
(Tribunnews.com/Maliana/Ilham Rian, Tribunnewswiki.com/Putradi, Kompas.com/Dylan Aprialdo/Abba Gabrillin/Icha Rastika/Ambaranie Nadia)