TRIBUNNEWS.COM - Korps Kepolisian Perairan dan Udara Badan Pemeliharaan Keamanan (Kopolairud Baharkam) Polri menambah satu kapal untuk menjaga keamanan perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Penambahan armada ini dilakukan usai sejumlah kapal asing asal China melanggar wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Hal ini diutarakan oleh Kakorpolairud Baharkam Polri Irjen Lotharia Latif.
Latif mengatakan ia menambah satu kapal beserta dengan personelnya.
"Sekarang kami tambah satu lagi yaitu Kapal Kasturi dengan 26 personel," kata Latif yang dikutip dari Kompas.com, Minggu (5/12/2019).
Sehingga total terdapat tiga kapal dengan 98 personel yang berjaga di perairan itu.
Latif menegaskan Korpspolairud siap bersinergi dengan intansi terkait lainnya untuk menjaga dan melindungi perairan Natuna.
“Kami sepenuhnya siap membantu instansi terkait dan mengamankan para nelayan Indonesia yang aktivitas di sana," ujarnya.
"Tapi intinya itu untuk pelayanan dan perlindungan masyarakat perairan dan nelayan di laut sesuai tupoksi Polri,” imbuh Latif.
Di sisi lain, Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga telah meningkatkan patroli di perairan Natuna.
Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksdya TNI Yudo Margono menuturkan telah menerjunkan ratusan personel untuk mengamankan perairan tersebut.
Dikutip dari Kompas.com, terdapat 600 personel TNI dan lima unit kapal perang yang disiagakan.
Menurut Yudo pelanggaran yang dilakukan oleh kapal asing ini telah mengancam pelanggaran batas wilayah.
"Dan itu perbuatan yang sangat mengancam kedaulatan Indonesia," ujar Yudo.
"Untuk itu, TNI wajib melakukan penindakan hukum terhadap pelanggar asing yang telah memasuki wilayah dan kegiatan ilegal berupa penangkapan ikan tanpa izin di Indonesia," imbuhnya.
Sikap tegas Mahfud MD
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD bersigap tegas dengan adanya kapal China di wilayah perairan Natuna.
Ia menuturkan tidak perlu adanya negosiasi antara Indonesia dan China.
Menurutnya, wilayah Natuna mutlak milik Indonesia.
"Ini tidak ada sengketa, mutlak milik Indonesia secara hukum. Jadi tidak ada negosiasi," ujar Mahfud yang dikutip dari Kompas.com.
Oleh karenanya, Mahfud meminta agar aparat keamanan dapat mengusir kapal - kapal asing tersebut dari perairan Natuna.
Mahfud juga mengatakan semua pihak wajib mempertahankan perairan Natuna, karena itu merupakan kedaulatan Indonesia.
"Kita akan pertahankan kedaulatan kita karena itu ada tugas konstitusional setiap aparat negara dan semua rakyat untuk mempertahankan itu," kata Mahfud.
Istana sebut tak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia
Menanggapi konflik perairan Natuna, Juru Bicara (Jubir) Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadjroel Rachman menyampaikan bahwa Pemerintah tegas dalam meyikapi konflik ini.
Dimana hal ini sesuai dengan arahan dari Presiden Jokowi.
Fadjroel juga menyatakan dalam menangani konflik perairan Natuna, pemerintah tetap mengedepankan diplomasi damai.
Pernyataan ini ia sampaikan melalui akun Twitter miliknya, @fadjroeL, pada Sabtu (5/1/2020) malam.
"Berdasarkan arahan Presiden @jokowi pemerintah Indonesia bersikap tegas sekaligus memprioritaskan usaha diplomatik damai dalam menangani konflik di perairan Natuna," tulis Fadjroel.
Selain itu ia juga menuliskan bahwa Pemerintah secara tegas akan terus mempertahankan kedaulatan NKRI.
"Tak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia," sambung tulisannya.
Dalam kicauannya melalui Twitter ini, Fadjroel juga menyinggung terkait pernyataan dari Menteri Luar Negeri , Retno Marsudi.
Dimana terdapat 4 sikap resmi yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pertama, telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal China di wilayah ZEE Indonesia.
Kedua, wilayah IndonesiaUnited Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982).
Ketiga China merupakan party dari UNCLOS 1982.
Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi China untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982.
Empat, Indonesia tidak akan pernah mengakui nine dash line atau klaim sepihak yang dilakukan oleh China , yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982.
(Tribunnews.com/Isnaya Helmi Rahma, Kompas.com/Devina Halim/Hadi Maulana/Andi Hartik)