TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akademisi dari Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta mengatakan upaya penegakan hukum yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpotensi digugat praperadilan.
Untuk itu, kata dia, selama melakukan tindakan, pihak komisi anti rasuah tersebut perlu memperhatikan aturan yang berlaku termasuk harus taat prosedur dan administrasi.
"Bisa digugat lewat praperadilan yang dampaknya kontraproduktif bagi KPK," kata dia, saat dihubungi, Minggu (12/1/2020).
Baca: OTT KPK di Awal Tahun Jangan Sampai Cacat Prosedur
Baca: Menengok Rumah Tersangka Wahyu Setiawan di Banjarnegara
Baca: KPK Belum Cegah Caleg PDIP Harun Masiku ke Luar Negeri
Setelah terbit dan berlaku Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dia menjelaskan, aturan itu menjadi pedoman melakukan penegakan hukum.
UU KPK hasil revisi mengamanatkan dibentuknya Dewan Pengawas KPK. Mengacu pada Pasal 37 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, Dewan Pengawas KPK mempunyai sejumlah tugas, salah satu diantaranya memberikan persetujuan atau tidak atas penyadapan dan penggeledahan dan penyitaan.
Sehingga, menurut dia, setelah Dewan Pengawas dan otoritas pimpinan KPK yang baru dilantik pada 20 Desember, semua upaya penegakan hukum harus dilakukan sesuai tertib administrasi.
"Jangan sampai pemberantasan korupsi ini terganggu karena ada ketidaktertiban administrasi," tambahnya.
Sebelumnya, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan dua operasi tangkap tangan (OTT) pada awal tahun 2020.
OTT pertama dilakukan kepada Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah, pada Selasa (7/1/2020). Saiful terjerat kasus transaksi suap mengenai proyek infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo.
Selanjutnya, pada Rabu (8/1/2020), pihak komisi anti rasuah itu mengamankan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Wahyu Setiawan. Wahyu terseret kasus suap pengurusan Pergantian Antar Waktu Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan periode 2019-2024.