TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Skema pergantian antarwaktu ( PAW) yang hendak dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) Harun Masiku dinilai nyaris sama dengan PAW politikus Partai Gerindra Mulan Jameela.
Kedua dewan pimpinan partai (DPP) berupaya memaksakan diri untuk meloloskan kader tertentu yang tidak memperoleh suara yang cukup untuk duduk di kursi Senayan.
Akibatnya, sejumlah aturan yang telah dibuat bersama berusaha untuk dipatahkan melalui mekanisme peradilan.
Hal itu diungkapkan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Hadar Nafis Gumay saat dihubungi Kompas.com, akhir pekan lalu.
Baca: PDIP Diduga Halangi Penggeledahan, Masinton Pasaribu Malah Salahkan KPK, Anggap Adanya Unsur Politik
Ia menilai, partai politik dapat menjadi aktor perusak demokrasi yang selama ini telah terbangun cukup baik.
"Kurang lebih (sama). Itu sebetulnya upaya yang keliru dan bahkan merusak sistem pemilu. Apa yang terjadi, gangguan-gangguan yang terjadi di republik ini harus dihentikan," kata Hadar, Jumat (10/1/2020).
Persoalan PAW Harun mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dugaan suap yang dilakukan komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Ia diduga meminta uang sebesar Rp 900 juta kepada Harun sebagai biaya operasional untuk memudahkan proses PAW tersebut.
Hadar tak menampik bahwa persoalan ini akan menggerogoti kepercayaan publik terhadap lembaga pemilih. Namun, ia berharap agar publik tak hanya menyalahkan KPU semata.
Pasalnya, kasus ini terjadi karena adanya niat dari pihak luar, yang dalam hal ini adalah partai politik yang ingin memaksakan kehendak agar calon anggota legislatif tertentu dapat duduk di Parlemen.
"Tentu saya tidak bisa mengatakan atau membela Pak Wahyu, dia sendiri juga sangat salah. Seharusnya dia menolak, jangan mau cari uang (dengan cara) bisa dengan memberikan janji. Tapi itu tidak akan terjadi kalau tidak ada parpol yang mau merusak sistem. Itu yang harus dibenahi," kata dia.
Skema Harun
Dalam skema PAW yang terjadi di PDI Perjuangan, Hadar menyatakan, KPU sebenarnya telah menolak rekomendasi dari DPP.
Dalam rekomendasi itu, PDI Perjuangan meminta KPU untuk mengganti nama Riezky Aprilia yang meraih suara terbanyak kedua di Daerah Pemilihan I Sumatera Selatan dengan Harun yang justru hanya memperoleh suara terbanyak keenam.