"Selain itu, PT WIL memiliki IPKH seluas 40,04 ha diwilayah Tanjung Ladongi, Kecamatan Wolo, namun fakta di lapangan perusahaan ini terindikasi melakukan penambangan diwilayah Tanjung Baja dan Tanjung Karara," jelas Aslan.
Sementara PT BPS dilaporkan terkait dugaan adanya penambangan bijih nikel di Desa Babarina, Kecamatan Wolo. Sedangkan perusahaan ini hanya memiliki izin penambangan batu.
"Kami minta kepada Polri dan KPK segera menindaklanjuti laporan ini," tegas Aslan.
Tata Kelola Perizinan Buruk
Sementara itu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyebut tata kelola penyelenggaraan urusan pertambangan khususnya pertambangan mineral dan batubara (Minerba) perlu banyak pembenahan.
Sepanjang 2019 terdapat 97 laporam terkait pertambangan dan SDA yang didominasi oleh tata kelola perizinan pertambangan.
Anggota ORI bidang SDM dan SDA Laode Ida mengatakan Selama lebih sepuluh tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, permasalahan tata kelola Izin Usaha Pertambangan (IUP) masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
"Permasalahan tumpang tindih IUP dan birokrasi pelayanan perizinan yang rumit serta berbelit-belit menjadi momok bagi investasi pertambangan di Indonesia," ujar Laode Ida.
Laode menambahkan permasalahan pertambangan di Indonesia tidak hanya terjadi pada tahap perizinan tetapi juga pada tahap pelaksanaannya.
Pemerintah dinilai lemah dalam pengawasan pemilik IUP, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), hingga Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
"Pemerintah saat ini masih disibukan dengan permasalahan pelaksanaan reklamasi yang dilakukan oleh pemilik izin maupun para penambang ilegal," tuturnya.
Kejadian bencana alam yang terjadi belakangan ini ditengarai ketidakpatuhan pemilik IUP dalam melakukan pengelolahan lingkungan.
Sehingga diperlukan keseriusan pemerintah daerah dan pusat dalam menegekkan ketentuan terkait reklamasi pasca tambang. (*)