TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini, bank-bank besar di Indonesia, khususnya bank pelat merah, masih banyak memberikan kredit yang tidak ramah lingkungan. Dengan kata lain, porsi pembiayaan untuk industri tak ramah lingkungan masih mendominasi.
Hal itu disampaikan Pendiri Bumi Global Karbon Foundation (BGKF), Achmad Deni Daruri kepada media di Jakarta, Senin (27/1/2020).
Meski sudah ada yang memiliki kredit ramah lingkungan, sejumlah bank pemerintah masih memiliki portofolio kredit tak ramah lingkungan. Apabila dianalisa dan dihitung, masih banyak kegiatan bank tersebut yang menghasilkan emisi besar.
"Sehingga diperlukan manajemen penurunan emisi untuk semua bank milik pemerintah supaya nantinya tidak terkena imbas sanksi oleh internasional," papar Deni.
Deni yang juga pendiri Center of Banking Crisis (CBC) ini menjelaskan, karbon neutral merupakan suatu keadaan net zero emission alias tidak ada emisi. Merupakan suatu keadaan di mana kegiatan yang menambah emisi karbon akan dioffset dengan kegiatan yang mengurangi emisi. Sehingga akan tercapai hasil yaitu kondisi tidak ada emisi atau zero emission
Isu karbon neutral menjadi perhatian serius dan fokus dari WEF (World Economic Forum) yang diadakan di Davos, Swiss pada 21-24 Januari 2020 yang dihadiri 3.000 peserta dan didalamnya terdapat pemimpin negara serta pimpinan korporasi global. Pada kesempatan ini Indonesia diwakili Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Masih kata Deni, sangat disayangkan, isu karbon neutral ini, tidak disampaikan utusan Indonesia dengan baik. Sehingga, literasi karbon dapat menjadi gerakan kesadaran baru di dalam memanfaatkan kekayaan alam Indonesia.
"Ada beberapa hal dalam pertemuan WEF tersebut yang harus diketahui, yaitu disampaikannya alasan mengenai mengapa industri khususnya perbankan harus mencapai karbon neutral dalam kegiatan usahanya," papar Deni.
Implikasinya, bisa menambah biaya operasi bank, gangguan ekonomi, banyak ketidakpastian, dan hilangnya pekerjaan. "Sebanyak 40 bank sentral dan pengawas, sedang melakukan kajian untuk menyertakan resiko perubahan iklim( Climate change risk), kedalam aspek ekonomi dan keuangan," paparnya.
Di Jerman, lanjut Deni, terdapat regulasi baru untuk semua kendaraan berbensin akan ditiadakan sampai 2030. Industri-industri, perminyakan, automotive, bisa terancam karena hal ini. Bank yang mempunyai portofolio di industri-industri tersebut juga akan terkena efeknya.
"Ketidakpastian itu menimbulkan resiko transisi. (transition risk)," beber Deni
Dengan adanya karbon neutral, lanjutnya, merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan bank dan memitigasi efek dari risk transisi. Karena semua kegiatan bank akan terukur secara objektif, transparan, serta perhitungan pengurangan karbonnya akan terlihat jelas.
"Akan ada review dimana portfolio bank di realokasikan ke industri/perusahaan yang lebih sustainable," katanya.
Jika tidak mencapai karbon neutral, kata dia, aspek sustainable ataupun pengurangan emisi masih abu-abu serta tidak terukur secara akurat dan objektif. Contoh, pada saat di Davos yang lalu, green peace memprotes kebijakan bank-bank besar seperti JP Morgan, CitiBank of America, RBC Royal Bank, Barclays yang mengklaim mereka sustainable, tapi ternyata masih memiliki billion dollar investment untuk industry oil & gas dan batubara yang tak ramah lingkungan.