TRIBUNNEWS.COM - Mantan Kepala Badan Itelijen Strategis (BIS) TNI Soleman Ponto turut mengomentari soal dugaan virus corona yang sempat diisukan merupakan senjanta biologis.
Setelah virus corona merebak di awal tahun 2020, banyak dugaan tentang sumber virus ini, yang di antaranya sebagai senjata biologis China yang tak sengaja tersebar.
Seorang analis perang biologis Israel menyebut, virus corona itu disebut merupakan senjata biologis buatan China yang lari dari sebuah laboratorium.
"Laboratorium tertentu di institut ini mungkin telah terlibat, dalam hal penelitian dan pengembangan senjata biologis China, setidaknya secara jaminan, namun bukan sebagai fasilitas utama penyelarasan BW China," ujar Shoham sepreti dikutip The Washington Times.
Mantan Kepala Intelijen Strategis (BAIS) TNI Soleman Ponto angkat bicara soal dugaan virus corona adalah senjata biologis China yang bocor.
Hal itu ia ungkapkan ketika berbicara di ILC TV One pada Selasa (4/2/2020) malam.
Menurutnya tidak aneh jika ada yang berfikiran seperti itu, bahkan awalnya ia juga menebak virus corona merupakan sesuatu yang direkayasa.
"Saya dari awal juga menganggap karena tiba-tiba virus ini datang, pasti rekayasa itu ada."
"Dan orang intelijen kan kerjaannya usil membuat rekayasa-rekayasa seperti itu," kata Soleman.
Namun demikian, dalam perkembangannya, ia menemukan kenyataan jika para ahli telah dapat melihatkan beberapa hal tentang virus itu.
"Tapi setelah dalam perkembangan, ternyata para ahli sudah bisa melihatkan, ternyata ada track record yang dibuat virus ini sebelumnya," ungkapnya.
Soleman pun kini yakin jika virus corona tersebut merupakan memang alami adanya dan bukan rekayasa atau buatan.
Menurutnya juga ada resiko besar jika virus tersebut sengaja dibuat dan digunakan sebagai senjata biologis untuk mengalahkan suatu musuh.
"Kalau virus ini dibuat untuk senjata itu akan sulit, biologi ini barang hidup bisa-bisa kembali ke pembuat," ungkap Soleman.
Selain itu, saat ini China juga sedang dalam situasi tidak sedang perang.
"Ketika melihat perkembangan tidak mungkin ini dibuat secara khusus untuk ke China, karena China tidak sedang perang," terangnya.
"Terus kalau mau bawa, bawa dari mana? Apakah dari Amerika kemana-mana? Baju astronotnya kaya apa? Karena nanti si pembawa ini bisa terserang virus itu sendiri," sambungnya.
Menurutnya, jika virus tersebut merupakan buatan dari manusia dan diperjual belikan, virus tersebut tidak akan ada yang membeli, sebab beresiko besar bagi pembuatnya sendiri.
"Kalaupun itu dibuat mau dijual ke siapa, ngga ada yang mau beli, karena bisa-bisa makan diri sendiri."
"Dengan itu kesimpulannya tidak dibuat, tetapi alamiah yang saat ini sedang dicari mengapa bisa begitu," jelasnya.
Sementara itu, Direktur lembaga Biologi molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio juga menambahkan jika virus tersebut memang suatu yang bukan rekayasa dan bukanlah konspirasi.
Menurutnya, sangat mudah untuk mendeteksi jika virus tersebut adalah suatu rekayasa karena memang setiap mikroba mempunyai identitas.
"Saya mendukung, bahwa ini kecil sekali teori konspirasi, karena saat ini mudah seklai untuk mendeteksi apakah virus ini rekayasa atau asli karena setiap mikroba itu punya identitas," terang Amin.
Ia juga menegaskan jika saat ini Indonesia sudah mampu untuk mendeteksi virus corona yang telah meluas ke berbagai negara di dunia.
"Indonesia sudah punya kemampuan untuk mnedeteksi virus corona termasuk virus corona baru 2019 ini," tegasnya.
Evakuasi WNI
Sebelumnya pemerintah Indonesia telah mengevakuasi sebanyak 238 orang dari China setelah wabah virus corona yang berasal dari Kota Wuhan.
Awalnya, diagendakan jumlah WNI yang dievakuasi adalah 245, namun 7 diantaranya bertahan di China.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Tiongkok, Djauhari Oratmangun mengungkapkan perihal tujuh WNI yang tidak jadi dievakuasi kembali ke Tanah Air.
Hal tersebut disampaikan melalui telewicara yang videonya diunggah di kanal YouTube Kompas TV, Minggu (2/2/2020).
Djauhari menjelaskan, tiga WNI memang tidak memenuhi standar kesehatan.
Standar kesehatan telah ditetapkan oleh pihak Pemerintah China serta WHO.
Diceritakan, tiga WNI tersebut telah berada di bandara dan bersiap untuk pulang ke Indonesia.
Namun, setelah dilakukan pengecekan ternyata tiga WNI itu tidak memenuhi standar.
Sehingga, tiga WNI yang merupakan mahasiswa tidak ikut dalam proses evakuasi kali ini.
Djauhari mengatakan, kemudian tiga WNI tersebut dirawat terlebih dahulu di klinik bandara.
Setelah kesehatan membaik, baru akan kembali lagi ke kampus masing-masing.
"Mereka itu tidak bisa naik ke pesawat karena tidak memenuhi standar kesehatan yang bertiga itu," terang Djauhari.
"Jadi mereka sudah ada di bandara siap untuk diangkut tetapi karena mereka tidak memenuhi jadi mereka dirawat di klinik bandara," terangnya.
Diketahui, tujuh WNI yang bertahan di China tersebut juga merupakan pelajar asal Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
(Tribunnews.com/Tio/Febia)