Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengatakan pihaknya dan pemerintah serius berkomitmen dalam membereskan masalah pertanahan.
Hal itu ditunjukkan dengan Kementerian ATR/BPN bersama Polda Metro Jaya yang membongkar sindikat mafia tanah terkait kasus penipuan jual beli rumah mewah di kawasan Jakarta Selatan.
"Polri dan BPN memerangi mafia tanah. Ini adalah bagian dari komitmen pemerintah yang sangat serius untuk membereskan masalah pertanahan," ujar Sofyan, di Hotel Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020).
Sofyan mengatakan cara menangkal masalah pertanahan adalah dengan mendaftarkan dan membuat semua tanah disertifikatkan.
Baca: Gunung Merapi Meletus, Warga Abadikan Detik-detik Erupsi, Abu Vulkanik Menyembur hingga 2000 Meter
Baca: Manajer Ungkap Jenis Kelamin di Paspor Baru Lucinta Luna: Saya Ketawain Kalian yang Bilang Palsu
Baca: Presiden China Xi Jinping Telepon Jokowi
Oleh karenanya, kata dia, Kementerian ATR/BPN bekerjasama dengan Kapolri Jenderal Pol Idham Azis dan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memberantas masalah mafia tanah.
"Salah satu caranya ke depan semua tanah kita sertifikatkan, kita daftarkan, sengketa yang ada kita selesaikan. Nah bagian dari sengketa ini kemudian banyak melibatkan mafia tanah," kata dia.
Sofyan menegaskan penangkapan sindikat mafia tanah dan membuatkan sertifikat tanah merupakan upaya pemerintah menjamin hak-hak masyarakat.
"Ini dalam rangka upaya kita memperbaiki sistem yang ada di pendaftaran tanah. Sehingga dengan sertifikat ini mudah-mudahan kita jamin hak-hak masyarakat itu terlindungi sebagaimana yang diinginkan oleh negara kita," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bersama Polda Metro Jaya membongkar sindikat mafia tanah terkait kasus penipuan jual beli rumah mewah di kawasan Jakarta Selatan.
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana mengatakan pihaknya telah menetapkan 10 tersangka dalam kasus tersebut.
Tujuh tersangka diketahui bernama Raden Handi, Arnold Yosep, Henry Primariady, Siti Djubaedah, Bugi Martono, Dimas Okgi Saputra, dan Denny Elza.
Dua orang tersangka bernama Neneng dan Diah Ayu masih buron dan telah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO).
Sementara satu tersangka lainnya bernama Dedi Rusmanto. Yang bersangkutan adalah narapidana yang tengah menjalani hukuman di Lapas Cipinang.
Nana menjelaskan kasus ini terungkap dari laporan salah satu korban yang bernama Indra Hosein pada akhir tahun 2019. Indra awalnya hendak menjual rumahnya kepada tersangka Diah Ayu sebesar Rp70 miliar.
Diah pun mengajak Indra yang diwakili rekannya bernama Lutfi untuk mengecek keaslian sertifikat rumahnya ke kantor notaris palsu. Notaris tersebut adalah rekan Diah yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
"Itu notaris fiktif dengan nama kantor Notaris Idham. Disana ada tersangka Raden Handi yang mengaku sebagai notaris Idham. Di kantor Notaris Idham, korban memberikan fotokopi (sertifikat) untuk dicek di (kantor) Badan Pertahanan Nasional (BPN) Jakarta Selatan," ujar Nana, di Hotel Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020).
Lutfi kemudian ditemani oleh tersangka Dedi Rusmanto menyambangi BPN Jakarta Selatan. Namun ternyata Dedi menukar sertifikat rumah asli dengan sertifikat palsu dengan upah Rp30 juta.
"Sertifikat yang asli disimpan (tersangka Dedi Rusmanto), kemudian (sertifikat) yang palsu diserahkan ke saudara Lutfi," kata dia.
Sertifikat asli yang dipegang Dedi kemudian berpindah tangan ke Dimas Okgi dan Diah yang bertemu dengan rentenir. Dimas dan Diah mengagunkan sertifikat rumah itu senilai Rp11 miliar.
Untuk mengelabui rentenir tersebut, Dimas dan Diah membawa pemeran pengganti untuk menyamar sebagai Indra dan istrinya.
Nana menyebut uang Rp11 miliar tersebut ditransfer ke rekening bank Danamon yang kemudian ditarik tunai dan diserahkan kepada tersangka Arnold dan Neneng.
Indra selaku korban baru mengetahui sertifikatnya telah diagunkan saat ada seseorang yang berniat membeli rumahnya. Adapun korban disebut mengalami kerugian sebesar Rp85 miliar.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 263 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP dan atau Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 Pasal 3, 4, 5 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Korban baru tersadar kalau dokumen asli dipalsukan ketika ada orang yang mau membeli rumahnya, kemudian BPN menyatakan dokumen sertifikatnya palsu. Kerugian sekitar Rp85 miliar dengan rincian Rp70 miliar dari pemilik sertifikat rumah dan Rp11 miliar dari rentenir yang memberikan pinjaman," tandasnya.